Monday, March 3, 2008

arbiterase lagi, tapi berbeda...



pemerintah pusat melalui menteri ESDM disini dan disini, menyatakan telah melayangkan gugatan terhadap Newmont Nusa Tenggara ke Arbiterase Internasional terkait kewajiban divestasi saham perusahaan tersebut.

Purnomo Yusgiantoro sendiri berharap pengadilan arbiterase akan dilakukan di Jakarta. ia menambahkan pemerintah pusat sudah siap dan matang untuk melanjutkan proses ini. menariknya, pihak Newmont Nusa Tenggara, 1 jam sesudahnya juga ikut mengajukan gugatan.

arbiterase lagi... tapi mengapa saya melihatnya sebagai sesuatu yang berbeda dari sidang arbiterase pemprov kaltim vs KPC, Rio Tinto dan BP? ada beberapa point yang bisa menjadi dasar bahwa arbiterase ini sarat kepentingan segelintir elit nasional saja. dimulai dari posisi dan keterlibatan aburizal bakrie, statement2 dari ESDM hingga bagaimana reaksi Newmont sendiri atas masalah ini.

argumen pertama saya akan dengan cepat menunjuk Aburizal Bakrie, Menko Kesra sekaligus bos dari bakrie group yang memiliki Bumi Resources, pemilik KPC saat ini. posisi BR menurut berita ini bersedia memberikan pembiayaan kepada pemerintah daerah disekitar tambang Batu Hijau untuk membeli divestasi saham Newmont Nusa Tenggara dan kemudian menguasainya. Bumi sendiri telah menanda tangani perjanjian dengan provinsi Nusa Tenggara Barat, kabupaten Sumbawa, dan kabupaten Sumbawa Barat pada maret dan agustus tahun lalu untuk tidak hanya membeli 10 persen kewajiban divestasi (untuk tahun 2008) tetapi juga 21 persen lainnya yang harus didivestasi hingga 2010. dalam MOU tersebut, BR akan mendapatkan 85% bagian dari total saham yang dibeli oleh pemda dengan pendanaan dari BR. sebagai gantinya, BR akan membayar 1 juta dollar tiap tahunnya kepada pemda. angka yang tidak masuk akal sebenarnya, dengan harga 3% saja saham newmont yang sebesar 3 Trilyun rupiah.

kedua, kehadiran BR dalam proses ini, tentunya bila kita berkaca pada kasus KPC (bisa dilihat di tulisan lain di milis ini) akan sangat kontradiktif apabila melihat sikap Departemen ESDM. aksi "heroik" Purnomo Yusgiantoro dan juga Simon Sembiring dalam negosiasi dengan pihak Newmont yang begitu keras dan alot, hingga akhirnya begitu cepat membawa kasus ini ke arbiterase internasional (dengan statement, kami sudah siap dan matang). bahkan sebelumnya, purnomo bahkan berani mengancam akan memutus kontrak Newmont apabila menolak mendivestasikan saham sebelum tanggal 3 Maret 2008. sementara yang terjadi pada kasus KPC, pemerintah pusat tidak pada posisi yang berpihak kepada pemerintah daerah. atau mungkin bila melihat kasus yang masih baru di blok cepu, ketika pertamina sudah siap untuk mengelolanya namun ESDM lebih memilih Exxonmobil untuk mengelola blok cepu.

ketiga, menghadapi kenyataan ini, Newmont sendiri seperti kalap dan berusaha menempuh segala cara untuk menghindari jatuh ke tangan BR. pada awalnya sebelum BR terlibat dalam negosiasi dengan pemda, Newmont memang bersikap sangat keras, saya sendiri beberapa kali berdiskusi dengan teman2 yang terkait masalah ini, betapa kerasnya newmont untuk menghindari kewajiban divestasi. hingga pada akhirnya, BR tertarik untuk membiayai pemda untuk membeli saham divestasi. permasalahan bagi newmont, dengan kehadiran BR yang memiliki backing kuat di pemerintah membuat newmont mati kutu.

beberapa media terutama financial times beberapa kali memuat masalah ini, dengan Indonesia sebagai pihak yang sangat buruk dalam menangani investasi asing. saya tidak sepakat dengan argumen itu. ada kontrak2 yang mereka telah sepakati di awal perihal divestasi. dan itu hukumnya mutlak. namun yang memperihatinkan adalah shifting kepemilikan dari MNC ke pihak indonesia, sepertinya hanya akan dikuasai beberapa pihak saja, yang telah tercatat dalam ingatan kita sama saja. perubahan kepemilikan tidak lantas membuat kita lepas dari "penjajahan".

mulai dari divestasi freeport pada awal 90 an yang melibatkan orang yang sama, Aburizal bakrie, KPC, dan sekarang newmont nusa tenggara...

Pak ical, pak purnomo, apa lagi sih yang anda cari?


berita terkait:
http://www.ft.com/cms/s/0/5250f638-e88a-11dc-913a-0000779fd2ac.html
http://www.ft.com/cms/s/0/9b62afde-e631-11dc-8398-0000779fd2ac.html
http://www.ft.com/cms/s/0/6d3380dc-e908-11dc-8365-0000779fd2ac.html

3 comments:

Anonymous said...

Newmont eyes IPO to fend off Bumi

By Lisa Murray in Jakarta

Published: March 2 2008 20:42 | Last updated: March 2 2008 20:42

Newmont Mining may list $400m worth of shares in its Indonesian gold and copper mine in an attempt to protect the operations from aggressive local rival Bumi Resources.

Indonesia has threatened to end Newmont’s contract and take control of the $4.7bn Batu Hijau mine on the eastern Sumbawa island if Newmont does not sell a 10 per cent stake to regional governments by Monday.
However, the Financial Times last week uncovered a plan by Bumi to finance share purchases by three local governments and allow the company eventually to take control of the shares.

Bumi is controlled by the family of Aburizal Bakrie, Indonesia’s powerful welfare minister.

In light of these developments, Russell Ball, Newmont’s chief financial officer, said on Sunday the US group needed to look at alternatives.

“Maybe the time has come for us to look at other Indonesian companies that might be interested in buying the shares including through an IPO,” he said.

Newmont raised the possibility of selling an additional 5 per cent stake to the Sumbawa local government, which has already agreed to buy 2 per cent.

The Indonesian Mining Association, which includes both local and international companies, said on Friday the government should allow companies involved in compulsory divestment schemes, such as Newmont, to sell their shares via public offerings to improve transparency.

The lobby group is concerned that regulatory uncertainty is hurting foreign investment in the sector.

A recent report by PricewaterhouseCoopers ranked Indonesia third in the world behind Chile and Peru in terms of the potential of its mining resources. On investment conditions, however, it ranked last.

Mr Ball hopes the government will agree to extend the deadline for negotiations on the 10 per cent sale or withdraw its threat to terminate Newmont’s contract.

Simon Sembiring, director general of mineral resources at the energy ministry, declined to comment.

Newmont and Sumitomo, its partner in the Batu Hijau mine, are required to complete a 51 per cent sell down to local investors by 2010.

They have already sold a 20 per cent stake to a local company.

Copyright The Financial Times Limited 2008

Anonymous said...

Newmont accuses Bumi of secret plan over shares

By John Aglionby in Jakarta

Published: February 28 2008 22:57 | Last updated: February 28 2008 22:57

Newmont Mining of the US on Thursday accused Bumi Resources, Indonesia’s largest coal miner, of putting at risk its contract to operate a $4.7bn gold and copper mine by secretly plotting to undermine the share divestment process.

Bumi has been orchestrating a confidential campaign to finance local governments around the Batu Hijau mine on Sumbawa island in eastern Indonesia to purchase shares and then take control of them, documents obtained by the Financial Times and people involved in the deal have revealed.
Jakarta has been threatening to terminate Newmont’s contract and retake control of the mine if a 10 per cent stake is not sold to regional governments by March 3.

Foreign businesspeople say the argument highlights the problems of investing in Indonesia. US energy group Exxon Mobil and Temasek Holdings , the Singaporean government investment arm, are among foreign companies contesting opaque institutional decisions in south-east Asia’s largest economy.

Bumi told the FT it had signed confidential non-binding memoranda of understanding with the governor of West Nusa Tenggara province and heads of Sumbawa and West Sumbawa districts in March and August last year to buy not only the 10 per cent stake that Newmont and Sumitomo, its partner in the mine, must divest, but the remaining 21 per cent that must be sold by 2010.

Bumi and the local governments agreed to buy the shares through a joint venture of which Bumi would control 85 per cent, the MOUs say. In return Bumi would pay each local administration at least $1m a year until all the shares were acquired. Under the contract of work the shares are meant to be bought and controlled by the local governments, or a private company of Newmont’s choosing.

Russell Ball, Newmont’s chief financial officer, told the FT Newmont was “deeply disturbed” by Bumi’s actions. “We had believed we were negotiating in good faith . . .  to divest shares that would benefit the people of the local communities,” he said.

Newmont is trying to divest the shares to the local governments through its own financing mechanisms. The Sumbawa district chief has agreed to Newmont’s terms to buy 2 per cent.

Dileep Srivastava, Bumi’s corporate secretary, said yesterday Bumi had decided to stop pursuing the Newmont shares “because of its [new] strategic position requiring a holding of, at least, a majority in its mining interests in Indonesia”, but was interested in “operating and marketing and funding” the mine.

This appears to be contradicted by Zulkifli Muhadli, the West Sumbawa district chief, who told the FT he had discussed with Bumi its latest offer “within the last week”. Furthermore, Lalu Serinata, West Nusa Tenggara governor, wrote a letter three weeks ago to various officials, indicating he regarded the March MOU as still being adhered to.

Bumi is controlled by the family of Aburizal Bakrie, Indonesia powerful welfare minister.

Copyright The Financial Times Limited 2008

Fauzan Zidni said...

Edisi. 03/XXXVII/10 - 16 Maret 2008

Ekonomi dan Bisnis

Membawa Emas Sumbawa ke Singapura

Kebuntuan proses divestasi saham PT Newmont Nusa Tenggara berujung ke
arbitrase internasional. Newmont bisa terkena terminasi.

Hubungan pemerintah dengan PT Newmont Nusa Tenggara memanas. Senin
pekan lalu, pemerintah membawa kasus divestasi saham Newmont ke
arbitrase internasional di Singapura. Newmont dinilai telah lalai
melaksanakan kontrak lantaran tidak menyelesaikan divestasi sesuai
tenggat. Arbitrase dipilih setelah Newmont mendapat tiga kali surat
peringatan. Yang pertama dikirim pada 11 Februari 2008 dan
dilanjutkan dengan dua surat berikutnya.

Newmont justru mempertanyakan peringatan pemerintah itu. Karena
pernyataan lalai atau default seharusnya dinyatakan ketika perusahaan
tidak bisa menyelesaikan divestasi 51 persen pada waktunya, yakni
tahun 2010. Mengutip kontrak karya, sumber Tempo mengatakan, sampai
batas 51 persen, posisi Newmont hanya menawarkan. ”Perusahaan itu
baru dinyatakan default kalau pada 2010 Newmont tidak melepas 51
persen saham ke pihak Indonesia,” katanya.

Kalau begitu, kata Direktur Jenderal Mineral Batu Bara dan Panas Bumi
Simon Sembiring, ”Mereka salah membaca kontrak.” Dia menegaskan,
pemerintah bisa menyatakan default kapan saja apabila salah satu
kewajiban Newmont tidak terlaksana. ”Satu saja tidak selesai:
default. Tidak harus menunggu semua kewajibannya selesai,” katanya.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro
menambahkan bahwa tuntutan pemerintah sederhana, yaitu legitimasi
Newmont lalai. Apabila arbitrase memenangkan gugatan pemerintah,
perusahaan itu harus mengoreksi kelalaiannya. Jika karena kelalaian
itu kontrak Newmont bisa diputus, pemerintah akan menghentikan
kontrak itu. ”Kalau dinyatakan lalai dan bisa diterminasi, ya saya
terminasi,” kata Purnomo.

Kasus ini merentang jauh pada Desember 1986. Ketika itu, kontrak
karya ditandatangani pemerintah dan Newmont. Dalam kontrak disebutkan
bahwa Newmont wajib menawarkan tiga persen saham pada 2006 dan tujuh
persen lagi pada 2007. Akhir bulan ini, Newmont mestinya menawarkan
tujuh persen saham.

Divestasi akan selesai pada 2010 ketika Newmont sudah menjual 31
persen sahamnya ke pihak Indonesia. Sesuai kontrak, Newmont mestinya
melepaskan 51 persen ke pihak Indonesia. Namun, sejak didirikan, 20
persen saham sudah dimiliki perusahaan Indonesia, yakni PT Pukuafu
Indah Indonesia milik Jusuf Merukh.

Masalah muncul karena pemerintah Indonesia tak sanggup membeli tiga
persen dan tujuh persen saham yang ditawarkan Newmont. Pemerintah
beralasan tak punya duit. Dana untuk membeli saham itu memang besar.
Berdasarkan valuasi pemerintah, nilai tiga dan tujuh persen saham itu
masing-masing US$ 109 juta (Rp 1 triliun) dan US$ 282 juta (Rp 2,6
triliun). Pada Maret 2006, pemerintah menyatakan tak tertarik membeli
saham tersebut. Surat serupa dikirim pada 26 September 2007.

Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat pun menyambar peluang. Tambang
Newmont di Batu Hijau sebagian terletak di kabupaten ini dan sisanya
di Kabupaten Sumbawa. Provinsi Nusa Tenggara Barat juga menyatakan
minatnya, tapi menghadapi problem dana. Anggaran Provinsi Nusa
Tenggara Barat tahun 2007 saja tak sampai Rp 1 triliun.

Ketiga pemerintah daerah itu kemudian membentuk konsorsium dengan
Bumi Resources untuk membayar saham Newmont. Nota kesepahaman diteken
30 Agustus 2007 oleh Gubernur NTB Lalu Serinata, Bupati Sumbawa Barat
Zulkifli Muhadli, Bupati Sumbawa Jamaluddin Malik, dan Presiden
Direktur Bumi Resources Ari Saptari Hudaya. Tiga pihak pertama akan
membentuk perusahaan patungan dan Bumi menyediakan dana pembeliannya.

Saham 10 persen itu akan dipecah. Pemerintah Provinsi NTB mendapatkan
lima persen, Kabupaten Sumbawa Barat tiga persen, dan Sumbawa dua
persen. Perusahaan patungan dibentuk oleh Sumbawa Barat yang
menggunakan PT Tambang Sumbawa Barat (TSB), Provinsi NTB bersama
Sumbawa Barat yang memakai kendaraan yang sama, PT Bumi Sumbawa Emas
(BSE). Sumbawa Barat akan memiliki sepertiga saham dan dua pertiga
lagi dikuasai BSE. Segala perubahan kepemilikan harus mendapatkan
persetujuan Bumi.

Rencana itu ternyata berbenturan dengan kehendak Newmont. Sumber
Tempo mengatakan, bagi Newmont, pilihan divestasi ini hanya dua,
yakni government to government (G to G) atau business to business (B
to B). Begitu swasta nasional masuk, divestasi tak lagi G to G
melainkan B to B dengan perlakuan yang berbeda. Jika pemerintah yang
mengambil saham, Newmont tunduk pada valuasi yang ditentukan
pemerintah. Tapi, kalau B to B, harganya ditentukan oleh pasar.

Pada 10 Agustus 2007, Newmont sebetulnya sudah menawarkan pinjaman ke
tiga pemerintah daerah tersebut untuk membeli 10 persen sahamnya
lewat Newmont Investment Limited. Dalam skema ini, utang akan dibayar
dengan dividen. Diperkirakan, utang akan lunas dalam 5-10 tahun
tergantung pendapatan Newmont. Selama masa pembayaran itu, pemerintah
daerah akan menerima US$ 333.333 (Rp 3 miliar) per satu persen saham
setiap tahun. Namun, skema itu ditolak.

Ketiga pemerintah daerah itu tetap memilih Bumi untuk pendanaannya
Namun sampai tahun ini, persoalan itu belum juga beres. Kabupaten
Sumbawa rupanya tak sabar dan mulai melirik tawaran Newmont. Dengan
jatah dua persen, paling tidak, kabupaten ini akan mendapatkan US$
666.666 atau sekitar Rp 6 miliar setiap tahun plus Rp 10 miliar untuk
pemberdayaan masyarakat selama empat tahun. ”Ini menguntungkan,” ujar
Bupati Sumbawa Jamaluddin Malik

Maka setelah menyatakan mundur, 28 Februari lalu, Kabupaten Sumbawa
meneken kesepakatan dengan Newmont. Sumbawa akan meminjam uang setara
Rp 653,4 miliar (dengan kurs 9.000 per dolar) dan akan dicicil
melalui pemotongan dividen dari dua persen saham yang menjadi hak
Sumbawa. ”Kira-kira lima sampai sepuluh tahunlah baru lunas,” kata
Jamaluddin. Newmont juga memastikan, Kabupaten Sumbawa tidak akan
rugi. Selain tidak perlu setor uang muka, utang ini tak berisiko.

Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Kabupaten Sumbawa Barat sendiri
tetap menolak tawaran Newmont. Menurut Pemerintah Daerah Nusa
Tenggara Barat, kongsi dengan Bumi Resources sudah tepat. Alasannya,
Bumi adalah perusahaan nasional yang berpengalaman di sektor
pertambangan. ”Kalau meminjam ke Newmont menyalahi kontrak karya.
Apalagi sahamnya sudah digadaikan,” kata Sekretaris Daerah NTB Abdul
Malik.

Dengan mundurnya Sumbawa, secara otomatis konsorsium ”bubar”. Sumbawa
Barat pun sudah mengganti kendaraan investasinya. Mereka menggandeng
PT Darma Henwa Tbk untuk membeli tiga persen saham Newmont senilai
US$ 109 juta. Meskipun kelihatannya berbeda, rumor menyatakan
perusahaan berkode DEWA itu sejatinya punya afiliasi dengan Grup
Bakrie melalui kepemilikan Bumi. ”Yang kami tahu begitu,” ujar analis
yang menolak disebutkan namanya.

Info itu dibantah Senior Vice President Investor Relations Bumi,
Dileep Srivastava kepada Sorta Tobing dari Tempo. Dulu, kata Dileep,
Bumi memang pernah tak langsung memiliki DEWA melalui kontraktor
bijih besi Australia, Henry Walker Eltin Ltd. Pada 2005, saham DEWA
dijual kepada Zurich Asset International di Indonesia, yakni PT
Danatama Makmur (95 persen) dan PT Indotambang Makmur (lima
persen). ”Keputusan DEWA tak ada lagi hubungannya dengan kami,” kata
Dileep.

Merapatnya Nusa Tenggara Barat dan Sumbawa Barat ke kubu Bumi tidak
terlepas dari isu tak sedap. Sempat beredar rumor, ada tebaran duit
kepada dua pemerintah daerah ini, termasuk Kabupaten Sumbawa, yang
kemudian mengembalikan uang tersebut. ”Puluhan miliar sudah
digelontorkan pihak Bumi ke mereka,” ujar sumber Tempo.

Abdul Malik membantah isu itu. ’’Tidak benar Bumi memberi uang.”
Bantahan serupa juga dilontarkan Bupati Sumbawa Jamaluddin
Malik. ”Tidak ada duit-duitan,” katanya. Bumi melalui Dileep
menyatakan tak berminat membeli saham Newmont. ”Kecuali kalau yang
kami beli mayoritas,” katanya.

Pemerintah, seperti ditegaskan Simon, tidak akan ikut campur dalam
proses divestasi. Pemerintah hanya mengawasi divestasi itu agar tidak
melanggar kontrak. Itu sebabnya, Pemerintah menyemprit Newmont karena
menjual dua persen sahamnya ke Pemerintah Kabupaten Sumbawa.
Mestinya, sampai 2007 yang dilepas ke pihak Indonesia 10
persen. ”Pemerintah tidak menyetujui penjualan dua persen itu karena
kontrak karya tidak menyebutkan menjual dua persen.”

Persoalan makin ruwet setelah Newmont menjaminkan 100 persen saham
asing untuk mendapatkan utang US$ 1 miliar kepada Bank Ekspor Impor
Jepang dan Amerika Serikat serta Kreditanstalt fur Wiederaufbau. Saat
ini, 80 persen saham Newmont dikuasai Nusa Tenggara Partnership.
Perusahaan patungan antara Newmont Indonesia Limited (56,25 persen)
dan Nusa Tenggara Mining Corporation (43,75 persen) yang dikendalikan
Sumitomo, Jepang.

Penjaminan ini ternyata disetujui pemerintah. Simon Sembiring
mengakui hal itu. Hanya saja, katanya, kontrak karya tetap acuan
utama Newmont. Artinya, saham dijual ke pihak Indonesia, pemerintah,
perorangan, atau swasta nasional. ”Kalau lagi digadaikan, tebus dulu,
baru ditawarkan,” katanya.

Sedangkan menurut Vice President Newmont Blake M. Rhodes, menjual
saham yang sedang digadaikan itu tidak salah. Sebab, meski saham itu
dijual, penjamin utang ke bank tetap Newmont, bukan pemegang
saham. ”Penggadaian saham tak jadi masalah dalam divestasi,” katanya.

Newmont juga menyesalkan langkah arbitrase yang diambil pemerintah.
Menurut Senior Vice President & Chief Finance Officer Newmont Mining
Corporation, Russell Ball, sebetulnya sudah ada kemajuan nyata dalam
proses divestasi. Buktinya, kata dia, sudah ada penandatanganan
perjanjian penjualan saham dengan Pemerintah Kabupaten Sumbawa.

Dia bahkan optimistis, kebuntuan negosiasi akan ada penyelesaian
tanpa harus masuk ke jalur arbitrase. Sekalipun dilakukan arbitrase,
katanya, Newmont tetap membuka negosiasi dengan pemerintah, terutama
dengan Sumbawa Barat dan Nusa Tenggara Barat. Namun, bagi Simon,
Newmont memang enggan melepaskan sahamnya. ”Newmont tetap ingin
menguasai dan menjadi pengendali.”

Anne L Handayani, Nieke Indrietta, Supriyanto Khafid