Wednesday, March 12, 2008

Tarik Ulur Divestasi Saham Pertambangan KPC

tulisan ini adalah bagian ketiga dari tribun kaltim, (bagian pertama, dan bagian kedua)
Oleh: Achmad Bintoro

BEBERAPA saat Budi Surjono tercenung. Di balik kaca matanya yang minus, matanya nyaris tak berkedip. Di depannya, conveyor belt tambang PT KPC sepanjang 13,2 kilometer berjalan perlahan. Hampir tanpa suara, sabuk itu dengan tenang membawa butir-butir pasir hitam batu bara ke pelabuhan Tanjung Bara di pinggiran timur Kota Sangata, Kutim. Sebuah kapal besar, dengan lambung terbuka, telah menunggu.

Kecepatannya konstan. Tak peduli hujan atau panas. Tidak peduli para elite lokal dan nasional mau ngomong apa, atau saling sikut dan berteriak mempersoalkan divestasi 51 persen saham KPC yang belum berjalan, conveyor itu tetap taat pada tugasnya, membawa kekayaan alam itu ke luar dari bumi Kutim.

"Lihat, sementara sejumlah elite lokal dan nasional sibuk mencari kesempatan dan membela kepentingan masing-masing, di sini, kekayaan alam kita terus dikuras. Tanpa sadar kita telah terjebak dalam permainan mereka, politik pecah belah. Padahal diam-diam KPC menertawakan kebodohan kita selama ini," kata Budi, Operation Research & Political Sociate, LSM yang intensif mengkaji soal jaringan multinational corporation (MNC).

Ban berjalan tersebut sanggup mengalirkan batu bara sekitar 2.300 ton per jam dari tambang ke dermaga. Volumenya akan terus naik seiring dengan meningkatnya produksi yang tahun ini menjadi 50 juta metrik ton per tahun. Berapa nilai yang telah dikeruk KPC selama ini. Wow, kita semua akan tercengang kalau mengetahuinya. Dalam hitungan kasar Bupati Kutim Awang Faroek Ishak, sejak mulai produksi pertama pada 1991 hingga 2007, KPC diperkirakan sudah meraup hasil bumi Kutim senilai US$ 12,4 miliar atau sekitar Rp 112 triliun.

Namun sementara mesin-mesin produksi terus bekerja siang malam mengeruk hasil bumi Kutim dan menghasilkan pundi-pundi uang bagi pemiliknya, Rio Tinto/BP kemudian beralih ke Bumi Resources milik kelompok Bakrie Group, sejumlah elite lokal bersama nasional masih saja getol mempersoalkan keabsahan gugatan yang diajukan Didi Dermawan, pengacara Pemprov Kaltim, ke arbitrase ICSID.

Pro dan kontra masih bermunculan. Ada yang mati-matian menolak arbitrase. Ada yang berusaha menjegal langkah arbitrase dengan mengirim surat, mengatasnamakan DPRD Kaltim, ke pengacara KPC, Michael P Lennon. Bahkan saat sidang kedua arbitrase sedang berlangsung pun, masih ada sejumlah tokoh pemuda dan legislatif yang mempertanyakan ada tidaknya sumber dana dari APBD untuk mendanai gugatan itu.

Menurut Budi, kenyataan ini mestinya memberi kesadaran baru di sejumlah elite lokal di Kaltim. Bahwa Kaltim memiliki kekayaan sumberdaya alam yang luar biasa besar. Dan masih banyak rakyat yang hidup susah. Kekayaan alam itu mestinya bisa dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya memakmurkan rakyat.

"Caranya? Pemprov Kaltim/Pemkab Kutim harus bisa mendapatkan hak pembelian divestasi saham KPC. Untuk itu perlu ada pemimpin kuat di Kaltim yang mampu menggandeng dan mengajak kita ngeluruk ke Jakarta. Kita perlu gerakan moral, bicara langsung dengan Presiden SBY," jelas Budi.

Hal senada diungkapkan Fauzan Zidni, peneliti pada Center for Indonesia Regional and Urban Studies (CIRUS). Fauzan secara mendalam meneliti proses divestasi saham KPC. Ia melihat ada segelintir elite yang bermain untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya, sehingga mengabaikan kepentingan rakyat.

"Saudara-saudara kita di Kaltim akan memiliki kesempatan untuk memilih gubernur baru. Saya kira itu akan menjadi peluang untuk mempersatukan derap langkah perjuangan ini. Ini langkah terpenting saya kira, selain langkah gugatan arbitrase itu sendiri," jelas Fauzan di Singapura. Ia kini tengah melanjutkan kajian proses divestasi ini di National University Singapura.

Hal yang membuatnya miris, sejumlah elite nasional ikut bermain. "Sebenarnya saya sangat miris melihat pemerintah pusat yang akhirnya membawa kasus Newmont Nusa Tenggara (NNT) ke arbitrase internasional. Sementara untuk KPC karena kepentingan segelintir elite harus mengorbankan kepentingan untuk rakyat banyak," tambahnya. Namun yang membanggakan, masih ada sejumlah elite lokal dan unsur pemuda/tokoh warga Kaltim yang tetap konsisten untuk berjuang mendapatkan hak atas saham divestasi itu. Jalur arbitrase dipandang pilihan terbaik setelah jalur yang ditempuh selama ini, negosiasi, politik hingga gugatan ke pengadilan negeri, tidak membuahkan hasil.

"Kalau pun dengan cara legal (arbitrase) ini masih tidak berhasil, entahlah apa yang akan terjadi. Barangkali akan berlaku rencana B dan C sampai keadilan berpihak pada kami. Sampai divestasi ke Kaltim dilakukan. Hanya itu cara untuk menyejahterakan masyarakat Kaltim, khususnya Kutim lewat KPC," kata Laden Mering, Ketua TPDS KPC. Apa itu rencana B dan C? Laden tidak menjawab.

"Inilah yang terjadi. Kita dulu dijajah oleh Belanda berkulit putih. Kini yang jajah ganti Belanda kulit hitam. Sangat memperihatinkan justru orang-orang kita, sejumlah elite lokal dan elite nasional yang mengadang dan menzalimi kita," timpal Marcus Intjau, Wakil Ketua Komisi II DPRD Kaltim.

Nah, seharusnya berhenti sudah petinggi dan tokoh Kaltim berdebat dan memaksakan deal-deal atau kepentingan pribadi. Bahwa yang dihadapi eksekutif bukanlah legislatif. Sebaliknya legislatif tidak berhadapan dengan eksekutif. Keduanya mestinya juga tidak dalam posisi yang berseberangan dengan Didi Darmawan.

Untuk kali ini, mereka mesti kompak menghadapi KPC, sebuah perusahaan besar, berlaba besar, dan besar pula mengeruk hasil bumi Kutim. Kalau KPC bisa bersikap sedikit bicara banyak bekerja, kenapa Kaltim tidak bisa seperti itu agar bisa memanfaatkan peluang dan kesempatan ini untuk kemakmuran masyarakat Kutim dan Kaltim. (*)

No comments: