Friday, February 29, 2008

Ibu Pertiwi....

“Ditempat seperti ini kita belajar untuk tidak pernah meminta maaf kepada hidup”

Saya teringat kata-kata ibu guru di sekolah dahulu. Bahwa Indonesia kita subur dan makmur, kaya raya makanya disebut zambrut katulistiwa. Saya teringat juga dongeng ibu guru di sekolah dahulu. Bahwa apa saja bisa tumbuh di tanah kita. Belanda datang dulu untuk rempah-rempah, karena kita kaya. MNC datang untuk emas dan minyak kita sekarang, karena kita kaya..

Katanya…iya, itu cuma katanya…

“Tempat ini terlalu sempit untuk diisi penyesalan”

Kemaren seorang ibu hamil mati karena kelaparan di makassar. Tanah yang katanya berwarna hitam dan dibilang lebih subur dari jawa. Di Nusa Tenggara 10 Kabupaten mengalami kekeringan dan gagal panen. 20 ribu hektar tanaman padi dan jagung gagal tanam. 9 ribu hektar lainnya rusak oleh hama. Sementara pak menko kesra sedang merencanakan pembatalan kontrak Newmont Nusa Tenggara, hingga dia bisa memilikinya. Nusa Tenggara itu kaya, emasnya, logam-logamnya. Dan masih banyak cerita lainnya…

“tempat ini terlalu basah untuk ditambah air mata”

Saya pernah bilang, saya bangga jadi orang indonesia. Lalu temanku berkata dengan sinis “saya tidak peduli”. Dia cuma bilang, hanya ada satu pelabelan,“tempat ini terlalu basah untuk ditambah air mata”, dan dia tidak biacara apapun lagi sesudahnya...

Lalu kemudian, saya bermonolog, apa yang kau banggakan dari Indonesia? Apa karena kau pernah lahir dan besar disana? Dan makin lama pun kau makin sadari bahwa negara mu tidak bisa dibanggakan. Benar kata taufik ismail 10 tahun lalu, yang suatu hari pernah sangat bangga atas Indonesia. Lalu kini harus menutupi muka, karena dia malu jadi orang Indonesia.

Ibu, aku ingin merubah Indonesia

saya bangga jadi orang indonesia....

jumat 29 february adalah kali ketiga saya mendatangi pagelaran seni indonesia di Singapore. cerita kolosal mengenai gajah mada yang diadakan oleh teman2 dari SMUKI. sebelumnya saya pernah menonton cerita prambanan yang diselenggarakan teman2 NUS dan rama shinta oleh republic politeknik.

sebelumnya di Indonesia, hampir tidak pernah (sekuat ingatan saya) mendatangi acara-acara seperti ini. entah mungkin karena dari SD-SMU saya berada di sekolah yg homogen, dan di UI sendiri hampir tidak ada (terutama di FISIP) pagelaran seni dan budaya tradisional Indonesia.

"saya bangga jadi orang Indonesia" itu jadi statement of the month bulan february... bahwa kita begitu kaya akan seni dan budaya. bahwa kita memiliki sejarah panjang dan begitu banyak cerita. sehingga kita tidak perlu mengaku-ngaku "truly asia" karena budaya kita memang tidak mencakup seluruh asia... atau mengatakan "uniquely indonesia..." karena tanpa disebutkan pula, kita sudah unik...

Tribunal Tunda Keputusan Yurisdiksi

Jumat, 29-02-2008 |Tribun Kaltim
TRIBUN - Hari kedua atau hari terakhir sidang arbitrase InternationalCentre for Settlement of Invesment Disputes (ICSID) di Singapura, Kamis(28/2), Tribunal (Majelis Arbitrase) belum bisa langsung memutuskanapakah gugatan Pemprov Kaltim/Pemkab Kutim ditolak atau diterima.

Wartawan Tribun Kaltim, Achmad Bintoro dari Singapura melaporkan, Tribunal yang
terdiri ketua, Prof Dr Gabriel Kaufhman dari Swiss, Michael Hwang
(Singapura), dan Albert Vandem Berg (Belgia) lebih dulu bakal mengkaji
keterangan dan dokumen-dokumen yang mereka peroleh dari hasil hearing
on jurisdiction.

Keterangan itu meliputi semua informasi dan tanya jawab yang terjadi sejak sidang
hari pertama hingga hari terakhir, kemarin. Hari pertama sempat
dihadirkan saksi Simon F Sembiring, mantan Dirjen Geologi dan
Sumberdaya Mineral Departemen ESDM, dan dua surat yang dikeluarkannya.
Surat tertanggal Maret 2004 dan 10 Agustus 2006 itu dijadikan bagian
dari data pendukung oleh Michael P Lennon, pengacara KPC, untuk meminta
Tribunal menolak gugatan arbitrase yang diajukan Didi Dermawan,
pengacara Pemprov Kaltim.

Sedangkan dua saksi lain yang diharapkan hadir, Sekjen Departemen ESDM Waryono
Karno dan Ketua DPRD Kaltim Herlan Agussalim, tidak terlihat. Tidak
pula diungkap di dalam persidangan mengenai surat-surat yang ditulis
keduanya. Lennon maupun Didi tidak lagi mengungkitnya. Begitu pula
Todung Mulya Lubis maupun Mattew Weiniger, pengacara Rio Tinto/Beyond
Peroleum.

Gabriel, sesaat sebelum mengakhiri sidang, memberi kesempatan kepada semua pihak
yang berperkara untuk mengajukan cost submission secara tertulis paling
lambat 10 April 2008. Tribunal akan memberikan jawaban tertulis pada 24
April.

Diperkirakan, keputusan Tribunal terkait yurisdiksi baru akan dikeluarkan sekitar
bulan Mei mendatang. Rentang waktu dua bulan ke depan akan digunakan
Tribunal untuk mengkaji dokumen-dokumen yang begitu banyak.
Dokumen-dokumen yang jika dikumpul mencapai satu lemari itu diajukan
oleh para pihak yang berperkara.

Selama persidangan hari kedua digelar kemarin, Tribun tidak bisa lagi
menyaksikan langsung jalannya sidang. Lennon, sesaat setelah sidang
dibuka oleh Gabriel, pukul 10.00, mengajukan keberatan kepada Tribunal
atas adanya laporan hasil sidang hari pertama di Tribun Kaltim
tertanggal 28 Februari. Ia sempat membagikan kliping laporan berita
Tribun itu kepada Tribunal dan para pengacara.

"Saya tidak menyangka nama saya ternyata cukup dikenal di Kalimantan Timur,"
ujar pengacara kesohor dari firma hukum Baker Botts, Inggris itu
bercanda sambil meminta Tribunal mengusir jika ada wartawan penulis
berita itu di di dalam ruang sidang. Gabriel menyetujui dan meminta
pihak ICSID serta petugas Singapore International Arbitration Center
(SIAC) untuk mengecek ada tidaknya wartawan dimaksud.

"Namanya Achmad (Bintoro)," kata Gabriel. Tribun lalu keluar lebih dulu dari
ruang sidang. Sejumlah informasi yang berhasil dikumpulkan menyebutkan,
suasana sidang kemarin berjalan tertib. Puluhan warga Kaltim yang
mendukung upaya arbitrase masih tekun mengikuti proses sidang hingga
berakhir petang hari. Sebagian dari mereka juga tetap berpakaian adat
suku-suku daerah seperti Dayak, Jawa, Bugis, dan Kutai. Termasuk Putra
Mahkota Sultan Kutai Kartanegara, Arifin Praboe, yang datang dengan
pakaian lengkap kesultanan warna putih.

Menurut anggota Tim Penyelesaian Divestasi Saham (TPDS) Iswan Priady, pada hari
kedua sidang kemarin, Todung kembali menekankan bahwa Pemprov Kaltim
tidak memiliki hak untuk berperkara di ICSID. Todung antara lain lain
mendasarkan klaimnya pada putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta yang
menolak gugatan Pemprov Kaltim pada sekitar lima tahun lalu. Terlebih,
masih menyitir pernyataan Todung, meski pemda memiliki kewenangan lebih
besar setelah UU Otda diberlakukan, namun tidak terhadap lima bidang
yakni keamanan/hankam, keuangan/fiskal, hukum, agama, dan kebijakan
luar negeri.

"Putusan PN Jakarta itu mestinya menjadi bukti atau acuan bahwa mestinya gugatan
ke ICSID pun tidak boleh diterima," kata Iswan menirukan ucapan Todung.
Iswan bersama TPDS KPC (Laden Mering, Abraham Ingan, Amir P Alie dan
Sarosa Hamongpranoto) hadir dalam sidang ini. Juga Wakil Bupati Kutim
Israan Noor, dan sejumlah tokoh adat, pemuda dan masyarakat Kaltim.

Tapi Albert Vandem Berg, anggota Tribunal yang dipilih KPC, justru
mempertanyakan balik. Kalau di PN ditolak, di ICSID juga diminta
ditolak, lalu Pemprov Kaltim harus mencari keadilan dimana? Menurut
arbitrator keturunan Belanda itu, PN Jakarta wajar menolak karena
mengacu PKP2B sehingga merasa tidak berwenang untuk mengadili. Todung
sendiri enggan berkomentar ketika Tribun melakukan konfirmasi di sela
rehat sidang, kemarin.

No Comment!

Todung Mulya Lubis enggan berkomentar. Sejumlah pertanyaan yang Tribun ajukan
tidak dijawabnya. Ia hanya mengeluarkan sepotong kalimat: No comment!.
Masyarakat melihat selama ini, dia adalah sosok pembela HAM. Ia tampil
menonjol dalam banyak kasus yang terkait dengan pembelaan masyarakat
kecil.

Namun masyarakat Kaltim, terlebih puluhan masyarakat yang dua hari terakhir
mengikuti jalannya sidang arbitrase di Singapura, menjadi bingung saat
melihat sosok dia. Mereka melihat Todung duduk paling depan bersama
sekitar 20 pengacara kesohor dunia lainnya. Ia menjadi pembela
perusahaan besar tambang dunia, Rio Tinto dan Beyond Petroleum, yang
bersama KPC menghadapi gugatan masyarakat dan Pemprov Kaltim/Pemkab
Kutim terkait divestasi 51 persen saham KPC.

Berulangkali Tribun mendengar geraman tertahan sejumlah tokoh masyarakat Kaltim saat
melihat langsung Todung tampil bersemangat membela KPC. Geraman yang
sama saat mereka melihat Simon F Sembiring, seorang Drjen di Departemen
ESDM, yang dalam pandangan mereka terkesan kuat membela KPC, tanpa mau
melirik kepentingan masyarakat Kaltim

"Sebenarnya kita tidak masalah Todung membela konglomerat asalkan bersengketa
dengan konglomerat lain. Sangat disesalkan dan memalukan ia membela
kepentingan konglomerat melawan kepentingan rakyat. Kita jadi meragukan
nasionalisme Todung yang selama ini dikenal sebagai pembela HAM. Kenapa
sih Todung mencari nafah dengan cara seperti itu," kata Iswan.
Pandangan senada juga diungkapkan Laden Mering, Abraham Ingan, Yulianus
Henock, dan Bambang Budi.

Lantas, apa tanggapan Todung. "Ah, no comment. Saya tak mau komentari itu,"
kata Todung dengan tertawa saat dicegat Tribun sebelum memasuki gedung
SIAC di Prime Court, Singapura.

Tuntut Keadilan

Wakil Bupati Kutim Isran Noor menjadi tokoh penting dibalik "sukses"
kelanjutan perjuangan Kaltim dalam menggugat KPC di arbitrase ICSID.
Tanpa respons cepat dan kepedulian dia, barangkali gugatan itu sudah
kandas di tengah jalan, jauh sebelum perang dimulai.

Saat Pemprov dan DPRD Kaltim menyatakan tidak bisa membiayai, tiba-tiba
harapan dan upaya keras yang telah dibangun selama ini untuk mencari
keadilan terkait divestasi saham, menjadi suram. Betapa tidak.
Pernyataan itu dikeluarkan justru di saat hari-hari terakhir jelang
batas waktu penyampain deposit kepada ICSID.

Isran yang saat mendengar itu masih di Hongkong, segera memutuskan pulang
lebih cepat. Ia tak mau perjuangan arbitrase itu kandas di tengah jalan
hanya karena biaya. Ia meyakini ICSID melihat adanya peluang lebih
besar ketika memutuskan bahwa gugatan itu bisa diproses. ICSID sendiri
memerlukan waktu satu tahun untuk mempelajari semua dokumen yang
diajukan Didi. Maka, Isran pun menjadi "penyelamat" sehingga gugatan
arbitrase bisa berjalan.

"Saya tidak berorientasi menang kalah, meski saya meyakini peluang kita lebih
besar di ICSID. Saya hanya mengembang amanah UU. Aturan terkait
divestasi itu sudah jelas kok ada di PKP2B. Saya bersama komponen
masyarakat lain dan pengacara kita, Didi, itu mencoba mencari
keadilan," kata Isran kepada Tribun di sela sidang, kemarin.

Ketua TPDS KPC Laden Mering didampingi Abraham Ingan juga menyatakan hal yang
sama. Aturan divestasi sudah jelas. Namun mereka tampak sekali enggan
melepaskan dominasinya terhadap kepemilikan saham KPC. "Mereka lupa
bahwa kekayaan yang mereka dapat adalah dari hasil mengeruk kekayaan
bumi Kaltim, khususnya Kutim. Jika mereka terus seperti itu, jangan
salahkan bila rakyat menjadi marah," tambah Ingan.(bin)

KPC/Rio Tinto Kerahkan 20 Pengacara


Kamis, 28-02-2008 |Tribun Kaltim
TRIBUN - Dengan total kekuatan sebanyak 20 pengacara kelas dunia, PT
Kaltim Prima Coal (KPC), Rio Tinto dan Beyond Petroleum bahu-membahu
melancarkan serangan kepada Didi Dermawan, pengacara Pemprov Kaltim,
dalam sidang kedua arbitrase International Centre for Settlement of
Investement Disputes (ICSID), Rabu (27/2) di Singapura.
Namun
penjelasan Didi yang santun, merendah, dan argumentatif kemarin mampu
menangkis serangan-serangan itu. Bahkan mengundang senyum anggota
Tribunal dan tepuk tangan pengunjung sidang. Didi mendapat opening
statement pada akhir sidang, setelah sidang berjalan sekitar lima jam.

Selama dua jam lebih ia membeberkan kejanggalan- kejanggalan dan tidak etisnyan
KPC dalam persoalan divestasi saham. Ia menekankan bahwa sebenarnya
tidak pernah terjadi divestasi saham KPC. Apa yang disebut divestasi
oleh KPC dan para pihak tidak lebih sebagai akal-akalan guna mengindari
hilangnya dominasi kepemilikan saham.

Didi mengawali orasinya dengan ucapan terimakasih kepada Tribunal yang telah
menerima permohonan gugatan yang ia masukkan pertengahan 2006 lalu.
Tribunal terdiri Prof Dr Gabriel Kaufhman (Ketua), Michael Hwang dan
Albert Van Deberg (anggota). Secara khusus ia juga menyampaikan salam
kepada para pengacara KPC dan para pihak yang disebut Didi sebagai
pengacara-pengacara hebat. "Anda semua adalah para pengacara hebat,
berbintang tujuh. Saya bangga bisa berhadapan dengan Anda," kata Didi.

"Juga kepada Pak Todung Mulya Lubis yang tak bukan adalah dosen pembimbing
skripsi saya ketika saya masih menempuh pendidikan di Fakultas Hukum UI
dulu. Dan salam hormat saya kepada warga Kaltim yang merelakan waktu,
tenaga dan biaya untuk tiba di persidangan ini," tambahnya.

Sekitar 40 warga Kaltim yang menghadiri sidang itu datang dengan pakaian adat
masing-masing suku. Mereka duduk di bagian belakang ruang sidang di
gedung Singapore International Arbitration Centre (SIAC). Pihak SIAC
yang memberikan fasilitas tempat terpaksa menambah kursi untuk mereka.
Ketua Tim Penyelesaian Divestasi Saham (TPDS) KPC Laden Mering
misalnya, tampil dengan topi dan pakaian adat Dayak Kenyah. Begitu pula
Abraham Ingan (sekretaris) , Yulianus Henock. Ada pula yang berpakaian
adat Jawa, NTB, Bugis, Gamis, Batak, dan lainnya.

Kedatangan dan tampilan mereka sempat menarik perhatian Tribunal maupun puluhan
pengacara KPC yang sebagian besar orang Barat. Gabriel menyatakan,
untuk kali pertama sidang arbitrase dihadiri oleh warga biasa.
Sedianya, sidang ini akan digelar di Washington DC, AS, sebagaimana
kebiasaan selama ini. Namun karena permintaan Didi Dermawan, dan atas
kesepakatan dengan lawyer lainnya, sidang kedua ini digelar di
Singapura.

"Ini surprise. Terimakasih atas kedatangan bapak-ibu. Tapi kami harap anda
semua bisa mengikuti aturan yang berlaku di dalam ruang sidang," ujar
Gabriel.

Hadir dalam sidang antara lain Michael P Lennon, ketua tim pengacara KPC,
bersama delapan anggota timnya dari firma hukum dari Inggris, Baker
Botts. Sedang dari pihak Rio Tinto/Beyond Petroleum dipimpin Todung
Mulya Lubis mengerahkan 12 anggota timnya. Todung bersama timnya duduk
di bagian tengah. Di sebelah kanan mereka, Didi Dermawan bersama tiga
anggota timnya.

Sejak awal sidang, baik Lennon, Todung dan anggota timnya, Mattew Weinier
dengan bahasa Inggris yang sangat fasih, terus mempertanyakan
kewenangan Pemprov Kaltim/ Pemkab Kutim dalam menggugat mereka di
ICSID. Mereka meminta Tribunal untuk menolak gugatan Didi.

Lennon misalnya, menggunakan kalimat penegasan yang diulang-ulang bahwa
Pemprov bukanlah peneken kontrak PKP2B. Sehingga tidak semestinya
dibolehkan menggugat di arbitrase. Begitu pula Mattew, dengan
bersemangat ia mencoba menjelaskan mengenai sistem perundangan di
Indonesia dengan menyitir Pasal 1 (1) UUD 45, di mana Presiden adalah
pihak yang berhak untuk urusan antarnegara.

Namun Lennon seketika terdiam ketika anggota Triunal, Albert Van Denberg dari
Belanda, memintanya untuk menunjukkan bukti apakah ada aturan yang
secara tegas melarang pemprov untuk maju daam arbitrase ICSID.

"Anda dari tadi berkali-kali menyatakan bahwa pemprov tidak berwenang karena
tiada surat kuasa dari pemerintah Indonesia. Sekarang tolong tunjukkan
kepada kami apakah ada aturan yang melarang maju dalam arbitrase,"
tanya Albert.

Sesaat lamanya Lennon terdiam. Begitu pula delapan anggota timnya yang duduk
di kanan Tribunal. Sempat ia membuka-buka berkas di depanya yang tebal.
Kemudian ia berkata pelan: "Tidak ada, Tuan."

Didi dalam akhir sidang menyatakan, sesuai dengan UU No 32/2004 tentang
Pemda, pemda memiliki kewenangan besar, kecuali atas beberapa hal.
Yakni pertahanan/keamanan , agama, dan keuangan/fiskal. Sehingga, tidak
ada alasan untuk menolak Pemprov Kaltim/Pemkab Kutim mengajukan gugatan
arbitrase kepada KPC yang dinilai telah banyak melakukan pelanggaran
hukum dan etika bisnis. Sidang masih akan berlanjut hari ini, Kamis
(28/2) untuk menentukan jurisdiksi (hearing on jurisdiction) . (bin)

Simon Sembiring Dicecar Pertanyaan

MANTAN Dirjen Geologi dan Sumberdaya Mineral Departemen ESDM, Simon Felix
Sembiring dicecar pertanyaan oleh Didi Dermawan dan Tribunal terkait
surat yang dikeluarkannya. Surat tertanggal 10 Agustus 2006 itu intinya
menegaskan bahwa Pemprov Kalim tidak berhak dan berwenang terkait
dengan PKP2B, termasuk untuk mengajukan gugatan arbitrase.

Sembiring adalah satu-satunya dari tiga saksi yang hadir dalam sidang arbitrase.
Dua saksi lainnya, Sekjen Departemen ESDM Waryono Karno dan Ketua DPRD
Kaltim Herlan Agussalim tidak terlihat hadir.

Pertanyaan Didi terkait degan dua surat yang dikeluarkan Sembiring yang dianggap
saling bertentangan. Satu surat tertanggal 10 Agustus 2006, Sembiring
menegaskan tidak ada hak dan wewenang bagi Kaltim untuk membeli saham
KPC, termasuk dalam penuntutan arbitrase. Namun pada suratnya yang
lain, Maret 2004, ia menyatakan setuju atas pembelian saham KPC 18,6
persen oleh Pemkab Kutim. Jual beli itu, menurut dia, selaras dengan
PKP2B.

"Kalau dasarnya PKP2B, kenapa terhadap Pemprov Kaltim Anda tidak katakan
setuju dan selaras. Bukankah kedudukan Pemprov dan Pemkab sama dalam
hal ini" tanya Didi.

Mendapat pertanyaan itu, Sembiring tidak memberi jawaban tuntas dan memuaskan.
Didi dan Tribunal berulangkali meminta penjelasannya secara jelas.
Namun Sembiring hanya mengatakan bahwa dirinya setuju Pemkab Kutim
membeli saham itu, karena transaksi jual beli saham itu hanya
melibatkan KPC dan Kutim.

"Kalau begitu saya rasa Anda telah keliru memahami PKP2B. Anda tidak memiliki pemahaman yang utuh," katanya.(bin)


Pemprov Kaltim Vs KPC, Rio Tinto dan BP

fauzan zidni

27-28 february 2008 ini di Singapore International Arbitrate Court ada
peristiwa yang sangat menarik. puluhan orang dengan pakaian khas
tradisional kalimantan timur datang ke supreme court di cityhall,
singapore. mereka bukan sedang mengikuti fashion show atau cultural
festival. orang-orang ini adalah utusan dari provinsi Kaltim yg ikut
mendukung jalannya persidangan arbiterase internasional antara pemprov
Kaltim diwakili oleh pengacara PDD Darmawan melawan KPC, Rio Tinto dan
BP, perihal divestasi saham KPC yang di tengahi oleh ICSID.

sidang hari ini cukup menarik, karena pihak tergugat, KPC, Rio Tinto dan
BP menjadikan isu, apakah pemerintah daerah Kalimanta Timur memang
berhak mewakili Pemerintah Pusat dalam sidang arbiterase internasional
tanpa adanya penyerahan wewenang dari pemerintah pusat, dalam hal ini
presiden atau menteri ESDM.

argumen utama KPC, Rio Tinto dan BP yg diwakili 2 firma hukum dari
inggris dan Mr Todung Mulya Lubis adalah pemda kaltim tidak bisa
mewakili pemerintah republik indonesia karena bentuk negara kesatuan dan
pemerintah daerah berada dibawah pemerintah pusat. serta tidak pernah
ada pemberian wewenang kepada pemda kaltim.

bagi pemda kaltim, jalan arbiterase adalah jalan terakhir yg bisa
diupayakan untuk dapat membeli saham KPC.

homoseksual dan kelas kreatif

fauzan zidni, lee kuan yew school

isu mengenai politik seksualitas di indonesia mungkin tidak begitu ramai dibicarakan, berbeda dengan Singapore yg memiliki pemerintahan dan masyarakat yang lebih konservatif dan tidak terlalu heterogen dibanding indonesia. isu mengenai politik seksualitas terutama masalah kaum gay dan lesbian. Kontradiksi dimulai dari pernyataan-pernyataan dari greja yang mengatakan bahwa homoseksual bisa berubah, dan pernyataan Goh Chok Tong serta MM Lee tentang keterbukaan pemerintah singapore untuk menerima kaum gay sebagai PNS. sedangkan disaat yang bersamaan section 377A of the Penal Code menyatakan bahwa gay adalah ilegal dengan hukuman 2 tahun penjara. selain itu perdebatan mengenai kaum gay menjadi perdebatan ideologis yang dilakukan oleh pemerintah dan juga golongan yang menyokong moralitas dan relijius.

yang saya fahami kemudian, perubahan statement dari orang-orang konservatif di pemerintah singapore dan dengan sengaja di PR kan di media internasional adalah dikarenakan perubahan paradigma mereka mengenai perubahan pertumbuhan ekonomi di singapore, dengan tiga argumen yg dijadikan argumen. Pertama, keterbatasan tempat dan kemampuan Singapore untuk mengembangkan sektor industri manufaktur yg membuat mereka lebih memfokuskan diri di industri pariwisata dan jasa. hal ini dibuktikan dengan pembangunan dua buah kasino besar di marina bay dan pulau sentosa, penyelenggara F1, penyelesaian terminal 3 bandara changi, dan infrastruktur pendukung lainnya. Kedua, hal itu pun dilanjutkan dengan pengembangan sektor kebudayaan dan seni di singapore. melihat trend bertambah banyaknya museum, kampus2 seni, pagelaran seni dan sastra, musik dan lainnya, harus diakui dalam budaya dan seni kontemporer pemerintah singapore juga masyaraktnya sangat menghargai dan mendukung peradaban baru yang mereka bangun. terakhir adalah teori baru mengenai hubungan antara kemajuan ekonomi dan keberadaan kelas kreatif. dua point sebelumnya tentunya membutuhkan keberadaan kelas kreatif yang percaya atau tidak sebagian besar dari mereka adalah gay, menurut pandangan pemerintah singapore. point terakhir ini kemudian juga menjelaskan mengenai pernyataan2 yang dahulunya konservatif dan tidak menerima kaum gay untuk kepentingan pragmatis memajukan perekonomian bukan hanya di sektor kreatif (seni dan budaya) tetapi juga kebutuhan singapore terhadap tenaga kerja asing lainnya. sehingga untuk menarik mereka datang dan tinggal di singapore dibutuhkan ketidak konservatifan (atau apalah namanya) terutama mengenai isu homoseksual.

ada dua hal lain yang menarik dari pembahasan isu ini. pertama, keberadaan section 377A yg tetap dan tidak dicabut namun tidak lagi akan diterapkan bagi yang melanggarnya. kedua, pendapat teman-teman saya yang gay mengenai isu ini tidak relevan. mereka berpendapat bahwa kehadiran orang-orang gay di singapore bukan karena perubahan paradigma pemerintah singapore mengenai isu gay, tetapi lebih dikarenakan biaya hidup dan pajak lebih murah dibanding di eropa dan amerika. tapi entahlah, saya bukan gay... dan tidak begitu mengerti tentang mereka...

indonesia bagaimana? sebagai negara dengan penduduk muslim terbanyak dan dalam al qur'an sendiri tegas-tegas di jelaskan haram hukumnya. apakah kita akan memilih untuk melegalkan homoseksual seperti belanda, atau kita akan memilih bertindak konservatif seperti singapore dahulu. atau kita akan memilih posisi yang diperkenalkan Bill Clinton dahulu mengenai isu gay di militer amerika, don't ask don't tell. atau kita pura-pura tidak tahu saja...? isu ini memang menarik untuk kita diskusikan...

Wednesday, February 13, 2008

IMMUNIZATION PROGRAM IN INDONESIA-SYSTEM ANALYSIS EVALUATION

By: Fransiska Nuraini K


Background

Since the year 2001, Indonesian government had proposed a decentralization health system, but it wasn’t carried out until 2003. This is due to the completion of the strategic steps, for the new decentralization health system, made by the Ministry of Health. The main objective for the decentralization health system is to accomplish the national health development based on the initiative and aspiration from the people in order to achieve “Healthy Indonesia 2010”. Following the new system, Decentralization Units have been formed since July 2001 in every province in Indonesia. This new health system led to the overall changes in the health system.
The structural organization of the national health system is no longer focused in the central government, whereas it is now focused in each province. Nowadays, the central government is a health system supervisor rather than a provider. The Immunization program is held by Puskesmas and Posyandu.

Immunization Program in Indonesia is a program that government proposed to reduce the high number of infant mortality rate. This program was started in 1977, and in 1980s the government started the Indonesia’s Expanded Program on Immunization with its main objective was to protect the minimum of 80% of all children with basic EPI vaccines. The immunization program is managed in the very low level structure of health system, the Posyandu, in all the villages in Indonesia to facilitate the immunization for all the children in isolated areas. Government even set up the “Pekan Imunisasi Nasional (PIN)” every year in order to improve this program. Besides promoting the program, the government also appointed a state owned enterprise, PT. Biofarma, to provide the vaccines.

Functions of the program

Immunization program in Indonesia has a major function which is to assure that all Indonesian children are fully immunized against diphtheria, tetanus, hepatitis B, whooping cough, poliomyelitis, measles, and tuberculosis and tetanus toxoid.

Regulations

1. Government Act on Health No. 23/1992, stated that “Health System should be implemented by the community with government as facilitator”
2. Government Act on Local Government No. 22/1999, regulate the regional governance in Indonesia
3. Government Act on Financial Balance Between Central Government and Local Governments No. 25/1999, constitute about financial equity between central and regional governments
4. Government Act No. 20/2001, comprise the function of guidance and supervision of government implementation applied to local government
5. Ministry of Health Decree No. 468/MENKES-KESOS/SK/V/2001, which has been amended by decree No. 511/MENKES/SK/V/2002, about National Health Information System (NHIS)

Policy initiatives and reforms

“Healthy Indonesia 2010”, is a vision of National Health Department that was first introduced in September 1998 that focuses health development specifically in health promotion and prevention rather than curative and rehabilitative services. Ministry of Health and Social Welfare put their efforts together to achieve this goal.
Decentralization Policy in 2000 regulates about the authority of Central government and Provincial governments. This policy gives more authority to the local government in ruling their own territory.
Decentralization Health System policy is standardizes the performance of health delivery service in every region in Indonesia to accomplish the “Healthy Indonesia 2010”.
National Health Information System Policy is a policy to support the achievement of Indonesia Healthy 2010 by promoting accurate, updated and networking information about health.


Outputs

A. Immunization Coverage
Immunization coverage in Indonesia shows how many districts in Indonesia are covered by this immunization program. World Health Organization has made an estimation of the coverage in Indonesia since 1980 until 2006. There are seven types of vaccination that are delivered by this program, including BCG, DTP1, DTP2, HepB3, MCV, PAB, and Pol3.
In general, there are 440 districts in Indonesia and at least 70% of the total districts in Indonesia are promoting this immunization program. For more details about each immunization, the data are listed below.

1. BCG (Bacille Calmette Guerin) Vaccine
Based on the data given by the World Health Organization, we can see that overall there is an increase in number of national coverage for BCG vaccine from 1980 until 206. But, the number of national coverage in 2006 (82% coverage) is less than the one in 1996 (87%).

2. DTP1 (Diphtheria Toxoid Tetanus and Pertusis) Vaccine, first dose
For DTP1 vaccine, there is also a boost in coverage from 1980 until 2006. Nevertheless, from year 2001 the number of immunization coverage is decreasing.
In 2001, 91% of the total districts run this program, but the number of coverage is turn out to be 88% in 2006.


3. DTP3 (Diphtheria Toxoid Tetanus and Pertusis) Vaccine, third dose
For DTP3 vaccine, there is also a boost in coverage from 1980 until 2006. Nevertheless, from year 2001 the number of immunization coverage is decreasing. In 2006, this program only covers 70% of the whole area in Indonesia, whereas in 2001 there are 76 % of areas are covered.

4. HepB3 (Hepatitis B) Vaccine, third dose
The immunization coverage for Hepatitis B vaccine is dramatically increasing since 1992. In 2006, 70% of total districts in Indonesia are covered by this immunization program.

5. MCV (Measles Containing Vaccine)
Based on the data, generally there is an increase in number of national coverage for MCV delivery from 1980 until 206. But, the number of national coverage in 2006 (72% coverage) is less than the one in 1996 (79%).

6. PAB (second and subsequent doses of tetanus toxoid)
Based on the data, generally there is an increase in number of national coverage for MCV delivery from 1980 until 2006. But, the number of national coverage in 2006 (72% coverage) is less than the one in 1996 (79%).

7. Pol3 (Polio Vaccine), third dose
Based on the data, generally there is an increase in number of national coverage for Polio vaccine (third dose) delivery from 1980 until 2006. But, the number of national coverage in 2006 (70% coverage) is less than the one in 1996 (83%).

B. Number of Toxoid Tetanus (TT) Coverage for Pregnant Women
Instead of increasing, the number of TT coverage for pregnant women in Indonesia was decreasing since the year 2000. The top three provinces with the largest coverage number are Bangka Belitung (90%), West Nusa Tenggara (84.2%), and DKI Jakarta (79.1%). Whereas the three lowest are East Java (6.6%), Banten (11.3%), and Papua (17.9%).


Target and Standard Sets

Indonesian government has made the target according to the UCI (Universal Child Immunization), which is the number of immunization coverage must at least 80%. Indonesian government had targeted to immunize at least 80% of children under the age of one for diphtheria, tetanus, and pertussis; and 90% for measles.
There are 6 out of 33 provinces in Indonesia which had met the target, including Bali (100%), DI Yogyakarta (99.09%), Lampung (90%), Central Java (89%), Jambi (88.95%), West Nusa Tenggara (87.53%), and Southeast Sulawesi (86.87%).
According to the World Health Organization, total number of districts in Indonesia with more than 80% of DTP3 coverage in 2006 is 69%, number of districts with 80% of MCV coverage in 2006 is 87%, and number of districts with at least 80% of TT2 coverage for pregnant women is 25.


Outcomes

A. Number of Disease Eradication
1. Number of Polio Eradication
Since 1995, there is no report on polio cases in Indonesia, but in 2005 polio has re-emerged as 345 cases were reported. This number is decline significantly into two cases in 2006. This result is due to the success of the PIN program in late 2005. The percentage of non polio AFP rate is increasing since 2001, this shows that the possibility of wild virus could potentially occur in Indonesia has decrease along the time. But, this result is the national data; there is still a possibility of poorly immunized districts that are covered by other districts.

2. Measles Mortality Reduction
Government through Puskesmas and Posyandu had carried out measles second opportunity immunization to increase the effectiveness of the vaccine. This second opportunity immunization was given in order to decrease the measles mortality rate. From the table, measles second opportunity immunization carried out since 2002.

B. Infant mortality rate
Since 1995, infant mortality rate (per 1,000 birth) has been decreasing form 55in 1995 to 35 in 2002. This decreasing rate shows that immunization program in Indonesia has succeeded in decreasing the infant mortality rate.

C. Under-five mortality rate
Under-five mortality rate per 1,000 populations can be another indicator of the outcomes from this immunization program. The lowest the number, the most succeeded this program. Based on the data given from the Intercensal Population Survey /SUPAS 1995 Estimation, the under-five mortality rate is decreasing from 1998 to 2002.


Key Performance Indicators
A. Effectiveness
To see the effectiveness of Immunization Program in Indonesia, we can look from the number of disease eradication, infant mortality rate and under-five mortality rate in Indonesia. How well this program is in improving children health in Indonesia? Based on the data above, we can see that there is a decrease in number of polio eradication and measles reduction in 2006. The infant mortality rate is also decreasing in 2002. The under-five mortality rate only slightly decreases from 1998 to 2002. We can say that the immunization program in Indonesia is quite effective in fighting the diseases that can be prevent with vaccines.

B. Efficiency
Efficiency of this program can be seen by the program itself. Are there any Standard Operating Procedures for this program? Does the National Immunization Week (Pekan Imunisasi Nasional) perform well?
Standard Operational Procedure of this Immunization program is based on the availability of the Multi-Year Plan (MYP) for immunization. Based on the survey, since 2001, Indonesia had covered the MYP from 2002 until 2006, and this MYP included the budget and annual work plan for immunization services.
The report from the Ministry of Health Indonesia shows that PIN had succeeded in every district in Indonesia. This means that this Immunization Program is efficient enough.

C. Equity
Based on the WHO Statistical Information System, from 440 districts in Indonesia, there are 69 percent of the district which had met the immunization standard for DTP vaccine, 53 percent met the standard for measles, and only 25 percents met the immunization standard for Tetanus toxoid for pregnant women.
This result explains that the Immunization Program has not reached all of the districts. Immunization Program in Indonesia has not fulfilled the equity criteria since only several districts that had achieve the standard immunization.

D. Quality
The existence of surveillance in this program can be a parameter for Quality of this Immunization Program. Based on the WHO Statistical Information System, there is no surveillance conducted for measles and laboratories confirmation measuring impact of vaccination against invasive bacterial diseases during the immunization program, although in the project plan, surveillance is included the whole program.
Safety can also be one of the parameter for quality of this program. Government has set the work plan for immunization injection safety including the activity work plan for waste management, and monitoring adverse effects after immunization. Nevertheless, there is no real action in dealing with these adverse effects. Government only takes the reports.
We can assume that the quality of this Immunization Program needs to be improved.

E. Sustainability
Since 2004, all the districts in Indonesia have been supplied by vaccines for immunization. This means that the government can maintain the sustainability for the vaccines since 2004. But, there is one thing that is very important.



Feedback
A. Effectiveness
To ensure the effectiveness of this program, central government must always cooperate with the local government in order to provide the best health services in Indonesia. The planning and management for Immunization program in Indonesia need to be improved in order to achieve the effectiveness of this program. The MYP should also include the surveillance from the production of vaccines until the vaccines delivery.

B. Efficiency
In order to improve the efficiency of this Immunization Program, Ministry of Health must provide clear guidelines for the local health districts.

C. Equity
The immunization program needs to be enhanced especially in remote areas if the government wants to achieve their target (which is 80% of Indonesian children under one year old get their DTP vaccines and 90% for measles). This is crucial if the government want to achieve their goals based on equity in immunization access.

D. Quality
Immunization surveillance has to be enhanced by providing the surveillance for measles national case and also for the laboratory confirmation of impacts against invasive bacterial disease. This is important in order to find out how much the immunization has succeeded in reducing the diseases caused by bacteria. Surveillance is important to maintain the quality of the immunization given.

Instead just providing the work plan for safety management in immunization program, government should provide the actions need to be taken if there are an adverse effect cases after the immunization, because it will increase the people’s trust for the safety of these immunizations.

E. Sustainability
Although all the districts have received the vaccine’s supplies, but government should pay great attention whether these vaccines are still in good conditions. Government should also ensure the sustainability of this vaccine’s supplies in the future.

How to Improve Immunization in Indonesia
A. Provide more Puskesmas and Posyandu
Based on the data, not every districts covered by this program, this is mean that the immunization program did not reach the equity criteria. In the future government has to provide more Puskesmas and Posyandu especially in remote areas. To make sure the effectiveness of the new Puskesmas and Posyandu, government are supposed to ensure that all the infrastructures are functioning according to the objective, because there are many Puskesmas and Posyandu are not perform well in health care services. This can be done by providing training to the nurses in these health centers.

B. Surveillance enhancement
Surveillance program must be improved to assure the quality and the successful of this immunization program. There surveillance should start from the earliest step which is the production of vaccines in PT. Biofarma (the implementation of Good Manufacturing Practices). Afterward government should conduct the surveillance for vaccines delivery process to the target areas, this is to make sure that all the vaccines are still in good quality and also effective. The last surveillance need to be conduct during the immunization process to monitor the adverse effects that might happen.



Brain Drain...

oleh Fauzan Zidni

Isu mengenai brain drain di Indonesia tidak begitu gencar. Pasalnya kondisi perekonomian yang tidak kunjung membaik membuat banyak orang-orang dengan talent di Indonesia memilih untuk bekerja di luar negeri. Selain itu juga eksodus besar-besaran di sector industri manufaktur dan juga beberapa kebijakan pemerintah yang tidak pro terhadap dunia industri semakin membuat keadaan semakin tidak baik.

Sekedar perbandingan dengan betapa khawatirnya Negara tetangga kita Singapore terhadap fenomena brain drain, menurut berita ini Singapore kehilangan 1000 orang dengan top talent (the best and the brighter) tiap tahunnya. Bahkan Lee Kuan Yew sendiri sampai angkat bicara mengenai fenomena ini. Menariknya, tujuan eksodus orang-orang pintar ini bukanlah ke Cina yang sedang mengalami booming perekonomian. Melainkan ke AS, Eropa dan Negara-negara berkembang lainnya. Lucunya, orang-orang Singapore tidak mau berkompetisi dengan orang-orang Cina. 'You go to China, you're going to compete against 1,300 million very bright fellows, hardworking, starving. Do you stand a chance to be on top of that pole? No”.

Permasalahan kehilangan “hanya” 1000 orang pertahun bagi Singapore amat lah besar. Jika melihat pyramid penduduk Singapore, dari 30 persen orang-orang dengan penghasilan terbesar, 1000 orang ini adalah penyumbang CPF (dana pension) terbesar atau sebesar 4-5 persen. Dan tiap tahun Singapore yang investasi-investasinya dinegara lain berdasarkan CPF harus kehilangan dalam jumlah besar. MM Lee sampai berkali-kali mengulang keluhannya mengenai brain drain, ia sampai menyebutkan bahwa top talent adalah urat nadi bagi perekonomian Singapore.

Namun begitu, kehilangan 1000 orang pertahun sebenarnya bukan berita buruk bagi Singapore. Kenyataannya, mereka sedang dalam proses menambah jumlah penduduk sebanyak 1 juta jiwa hingga 2009. Persaratannya pun adalah masalah talenta. Dengan pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen, dan system politik yang stabil. Kedatangan penduduk baru dengan talenta tinggi tentunya akan menambah pundit-pundi keuangan Singapore, bukan hanya dari pajak yang masuk, tetapi juga akan menarik investasi-investasi bisnis lain di Singapore.

Permasalahannya, WNI masih tidak menjadi prioritas dan cenderung masuk black list. Bahkan untuk sector pekerjaan yang banyak dibanggakan oleh Depnaker kita, TKI/TKW dari Indonesia menjadi urutan kesekian. Pekerja dari Philippine untuk sector keperawatan dan asisten rumah tangga masih lebih dilirik meskipun bayarannya lebih mahal. Sedangkan untuk bidang kontruksi, berbeda dengan Malaysia yang banyak membangun dengan tenaga-tenaga Indonesia, Singapore lebih memilih orang-orang India. Kedua sector yang cukup banyak menyerap tenaga kerja ini tidak menjadikan orang Indonesia sebagai prioritas simply karena permasalahan bahasa.

Berbeda dengan sector pekerjaan lain, tenaga Indonesia untuk sector jasa, perbankan, manufaktur dan Industri kreatif masih dilirik karena level pendidikan yang sudah cukup memadai. Namun begitu, saya sering merasa miris, ketika melihat rombongan-rombongan pekerja kita yang berangkat ke LN. beberapa kali bertemu dengan rombongan lulusan Poltek dan STM untuk berangkat ke Korea Selatan, jumlahnya sangat banyak. Belum lagi masalah TKI kita yang diperlakukan sangat tidak manusiawi bahkan oleh petugas bandara.

Hal menarik apabila membandingkan Indonesia dan Singapore, kita jarang merasa kehilangan orang-orang dengan top talent, middle talent bahkan low talent. Hal ini bisa dianggap biasa saja. Sebagai contoh, akhir tahun kemaren, Rolls Royce membuka cabang pertama di luar inggris untuk industri pesawat terbang, memproduksi mesin pesawat. Padahal tidak ada sejarahnya Singapore pernah berinvestasi SDM di dunia pesawat terbang. Disaat yang bersamaan kasus IPTN yang dinyatakan pailit saat itu masih belum selesai. Sementara para pekerja, dimulai dari yang paling cerdas hingga tahap pelaksana masih terombang-ambing dan banyak yang akhirnya pindah ke LN. Singapore memanfaatkan peluang ini dengan merekrut orang-orang terbaik IPTN. Kalau dihitung-hitung besarnya kerugian yang kita alami, terutama mengenai investasi SDM (disekolahkan, training-training dan juga pengalaman kerja) tidak tergantikan.

Pada akhirnya, saya pun mencoba memahami, adalah perilaku manusiawi kalau orang ingin kehidupan yang lebih baik, penghasilan yang lebih tinggi dan mencari kesempatan yang lebih luas meski harus tinggal tidak di negaranya. Fenomena brain drain di masa globalisasi ini pun sebenarnya tidak dapat kita hentikan. Negara seperti Sri Langka dan Filipin adalah contoh terbaik untuk kasus Negara yang hidup dari SDM nya yang tinggal di LN. Meskipun, yang kita alami adalah berbeda. Tidak adanya lahan pekerjaan dan banyaknya orang lapar di pedesaan membuat mereka memilih untuk menjadi pembantu di negeri orang. Sulitnya mendapat pekerjaan dan gaji yang pas-pasan membuat banyak pula orang-orang bertalenta untuk pindah ke negeri orang. Tidak dihargainya ilmu pengetahuan dan riset memancing para ilmuan untuk tidak membuang kesempatan berkarya di negeri orang.

Selanjutnya seperti apa? 10-20 tahun lagi…?
Wallahua’lam…

Indonesia Mine Dispute Escalates

article from FInancial Times,
(lihat komparasi denganya dengan kasus KPC)

Indonesia on Tuesday threatened to terminate the multi-billion-dollar mining contract of a local subsidiary of Newmont Mining, claiming that the US company and its Japanese partner had reneged on a plan to hand over shares to local organisations.
Simon Sembiring, Indonesia’s director-general of mineral resources, said Newmont and Sumitomo Mining had until February 22 to divest 10 per cent of their shares in the Batu Hijau copper and gold mine on Sumbawa island in West Nusa Tenggara province.

Muhammad Lutfi, head of the investment co-ordinating agency, also suggested that the two foreign companies, along with Trakindo, the Indonesian agent for Caterpillar, the heavy industry equipment supplier, may have violated the US Foreign Corrupt Practices act with their approach to the divestment process. However, no details were put forward.
The move is the latest blow in a long-running dispute between Newmont and the Indonesian government over the ownership of the Batu Hijau mine, which is managed by Newmont Nusa Tenggara, a joint venture between the US company and Sumitomo Mining.
Under the contract of work signed in 1986, Newmont and Sumitomo were required to divest 51 per cent of Newmont Nusa Tenggara to local entities within 10 years of production, in agreed instalments. Production began in 2000.
The companies sold 20 per cent immediately to Pukuasu Indah, controlled by businessman Yusuf Meruk. And in 2006 the company offered 3 per cent, valued at $109m, followed by another 7 per cent, valued at $282m, to local investors last year.
These stakes were not taken up and an affiliate of Trakindo has since been in talks with Newmont over the 3 per cent stake. Newmont on Tuesday said it had sold 2 per cent of the shares to the Sumbawa district government for $72.67m, a figure agreed via an independent valuation in 2006, adding that this demonstrated its commitment to divestment.
The sale price valued the mine at $3.6bn in 2006. Newmont was unwilling to say how much the mine is worth now. However, the price of gold has risen some 45 per cent in price since the end of 2006. The mine’s proven and probable reserves were estimated at 493m tonnes of gold and 1.9m tonnes of copper at the end of 2007.
Mr Sembiring told the Financial Times that Newmont and Sumitomo had violated the contract of work by not divesting 3 per cent of their shares in 2006 and 7 per cent in 2007.
“They’ve been hesitating, wasting time and not acting in good faith,” he said. “So I’ve given them until February 22 to complete the divestment or else I will exercise Indonesia’s right to cancel the contract.”
Newmont, speaking on behalf of itself and Sumitomo, insisted neither had done anything wrong. Newmont said it would take whatever steps necessary to protect its shareholders’ interests, including going to international arbitration.
Mr Lutfi, who has to approve the divestment, accused Newmont of “pursuing its own agenda” to retain ownership of the shares even though that would violate the contract of work.
“There are indications that several foreign companies have undertaken activities that violate the good corporate governance guidelines issued by the American government,” he said. “May I remind and warn Newmont, Sumitomo and Caterpillar’s Indonesian agent, namely Trakindo, to obey the articles of [America’s] Foreign Corrupt Practices Act.”
Trakindo on Tuesday said neither Caterpillar nor Trakindo were involved in attempting to purchase a stake in the mine, adding that it was an affiliate of the Indonesian company that had been in discussions.
Russell Ball, Newmont’s chief financial officer, said the company was committed to the divestment programme, even though it had taken longer than expected. He said he was “disappointed” by the default letter because “the government knew [the Sumbawa district deal] was in the works and imminent to be released”.
“It seems to be counter to the good faith of the negotiations that have been ongoing,” he said.
He added that if Jakarta cancelled the contract, Newmont would almost certainly pursue international arbitration.
Mr Ball rejected the suggestion that Newmont had violated the foreign corrupt practices act.

Additional reporting by Taufan Hidayat
Copyright The Financial Times Limited 2008

Soekarno Hatta

oleh: Fauzan Zidni

Banjir yang menimpa Jakarta awal februari ini cukup menimbulkan efek yang luar biasa. Salah satunya masalah transportasi udara dikarenakan akses yang terbatas ke bandara Soekarno Hatta. Untuk mengurangi masalah akses ke Soekarno Hatta, pemerintah berencana melakukan pembenahan infrastruktur pendukung serta akses jalan ke bandara dan membutuhkan dana sedikitnya Rp 15 Trilyun yang terbagi dalam 5 proyek yang tidak hanya menyangkut penambahan akses tetapi juga perluasan bandara.

Pertama adalah percepatan pembangunan terminal 3, perluasan akses terminal 1 dan penambahan fasilitas bandara. Kemudian ditambah dengan rencana penggabungan terminal 1 dan 2 serta perluasan landasan agar dapat di lewati oleh A 380. Kedua adalah peninggian dan perluasan jalan tol yang kemarin terendam banjir. Ketiga, pembangunan kreta api bandara sepanjang 34 Km dari Manggarai via Angke. Keempat, pembangunan jalan arteri, akses menuju belakang bandara. Kelima, pembangunan tol pendukung kea rah bandara (lihat gambar).

Ide tentang pembangunan infrastruktur pendukung ini sangatlah perlu dan mendesak. Ada beberapa point penting yang menjadi landsannya. Pertama, bagaimanapun volume kendaraan yang melewati jalan tol bandara sebenarnya sudah sangat jauh melebihi kapasitas. Dengan jumlah pengguna bandara sejumlah 32 juta orang pada tahun 2007, tentunya sangat melebihi daya dukung jalan yang dibangun dengan asumsi hanya 5 juta orang pertahun. Apalagi jalan tol bandara tidak hanya digunakan sebagai akses menuju Soekarno Hatta, tetapi juga sebagai akses komuter orang-orang yang tinggal di daerah tersebut. Maka kemudian tidak lah heran kerap kali macet selalu menghiasi perjalanan ke Bandara.

Selain itu, permasalahan banjir nampaknya menjadi pelajaran berharga buat pihak Jasa Marga. Setelah ‘menganggap remeh’ banjir dengan hanya membuat dinding kecil dipinggir jalan tol (dan ternyata terbukti sangat tidak efektif, hanya membuat jalan tol sperti kolam ikan saja), perencanaan pembangunan akses-akses lain ke bandara menjadi solusi ampuh agar orang mempunyai pilihan lain.

Menariknya, dalam proyek ini masalah dana bukanlah hal yang memusingkan kepala. Berbeda dengan proyek monorel yang tidak jelas, dana 15 Trilyun untuk pembangunan proyek ini, terutama proyek pembangunan jalan kereta sudah visible. Konsorsium Bank-bank papan atas nasional siap menyokong pembangunan yang diperkirakan balik modal dalam waktu 8 tahun ini.

Namun begitu, ada beberapa hal pula yang menjadi catatan penting bagi permasalahan ini. Pertama adalah kecemburuan daerah lain mengenai prioritas pembangunan infrastruktur. Dari 37 juta pengguna angkutan udara pada tahun 2007, sekitar 30an juta menggunakan bandara Soekarno Hatta. Dengan penambahan akses infrastruktur ini tentunya akan memperbesar kapasitas dan penggunaan Soekarno Hatta. Sementara itu di daerah lain, jangan kan untuk pembangunan standar bandara internasional, yang nasional saja daerah masih tergagap-gagap. Kasus bandara polonia yang sudah tidak layak digunakan misalnya, sampai saat ini belum ada realisasi relokasi bandara tersebut.

Kedua, permasalahan keselamatan penumpang. Tingginya angka kecelakaan pesawat terbang di Indonesia bukan hanya disebabkan oleh lalainya maskapai penerbangan dalam pemenuhan hal-hal yang menjadi standard internasional. Tetapi juga regulasi dan infrastruktur pendukung. Regulasi yang relative mudah dan sangat rawan ini diluncurkan untuk intensif untuk menyelamatkan industri penerbangan yang hancur akibat krisis 97. selain itu juga, agar munculnya maskapai2 penerbangan murah. Kemudian, masalah infrastruktur perawatan pesawat yang kurang memadai kembali menjadi sorotan.

Monday, February 11, 2008

Pak Harto dan Papa Lee...

dua minggu sudah pak harto meninggalkan kita semua. beragam reaksi publik yang muncul entah itu lewat spanduk-spanduk yang memuja hingga menghujat beliau, begitupun dari tokoh2 publik yang memanfaatkan kesempatan ini untuk mengambil popularitas belaka. tapi saya tidak akan membahas mengenai itu pada tulisan singkat ini. senin, 11 Februari 2007 di Kompas halaman 13, anak2 dan cucu2 Soeharto memasang iklan resmi ucapan terimakasih sebesar satu halaman. hal menarik yang saya lihat sekilas adalah urutan2 nama yang terpampang dalam iklan tersebut. Pak SBY tentu saja menempati posisi pertama disusul pak kalla, pimpinan DPR, MPR, DPD, MA dan MK secara berurutan.

nama Lee Kwan (menggunakan "w" bukan "u") Yew oleh keluarga SOeharto ditaruh di urutan ke 8. setelah pimpinan lembaga tinggi negara disebutkan satu persatu. hal ini sebenarnya tidak mengejutkan. dekatnya hubungan antara tiga mantan diktator terkuat di ASEAN, pak harto, papa lee dan pak cik mahatir memang istimewa. terutama antara pak harto dan papa lee. tanggal 12, sehari setelah kematian pak harto, berita2 tentang beliau menghiasi semua koran2 di singapore. berbeda dengan kita yang menyikapinya beragam. disini point penting yang disampaikan adalah bagaimana agar masyarakat SIngapore mengingat jasa2 pak harto. salah satu koran yang saya beli waktu itu bertajuk Suharto's (dengan u bukan oe) shadow overS'pore: Why we should not forget him. dengan tandingan judul laen tentang perkelahian di sebuah klub malam di clarke quay (sebuah perpaduan yang kontras dan tidak nyambung sebenarnya). isi berita didalamnya hanya mengambil sisi positif dari pak Harto, dengan 3 S nya menurut singapore, Saviour Stateman and Strongman. buat rakyat Singapore, diplomasi empat mata yang kerap kali dilakukan oleh pak Harto dan papa lee, terutama pada mei 1973, mengakhiri ketakutan rakyat singapore akan propaganda ganyang malaysianya pak karno pada januari 1963. pada 2 may 1966, pak harto juga sudah mengatakan pada The Straits Times (koran terbesar disini): "Peace, the sooner the better"

saya tidak mau berkutat terlalu dalam mengenai perasaan masyarakat singapore, karena itu bagi saya tidak terlalu penting. semua dari supir taksi, satpam, cleaning service, sampe profesor2 selalu mengulang2, whats wrong with u indonesian? dia sudah meninggal, maafkan sajalah, ini, itu, dll. yang lebih penting dan menarik adalah bagaimana papa lee mengultimatum jajaran media dan pengamat untuk tidak mengeluarkan satu pun statement negatif tentang pak harto. pak leonard, salah seorang indonesianis dan dosen di Rajaratnam School of International Studies sempat kelabakan dengan ultimatum tersebut. hingga dia memilih untuk tidak berkomentar, karena dia berbeda dengan kebanyakan rakyat singapore yang melihat pak harto tidak hanya dari sisi positifnya tapi juga dari dosa2nya kepada rakyat indonesia.

Pak harto pergi meninggalkan persahabatan yang abadi nampaknya dengan papa lee. papa lee sepertinya tetap menjaga kepentingan kroni2 Soeharto yang banyak bersembunyi di Singapore. hal ini dibuktikan dengan intervensi Ministry Mentor LKY yang menurut berita ini mengatakan perjanjian ektradisi tidak masuk akal. harapan manis pak SBY untuk mencungkil satu persatu koruptor yang lari ke singapore akhirnya tinggal mimpi.

pak harto dan papa lee memang sahabat sejati...
sedang kita hanya terpaku seolah2 tidak mengerti
(fauzanzidni)

Eastern approaches

from http://www.economis t.com/books/ displaystory. cfm?story_ id=10640560

Kishore Mahbubani makes some sensible recommendations on how Asia's growing power might be managed. But his other arguments are far less convincing.
WHEN you have spent your long diplomatic career listening to lectures by arrogant Americans and Europeans about how others should run their countries and that the West is best, it must be tempting to try to get your own back. That is what Kishore Mahbubani, who in the 1980s and 1990s was Singapore's and probably Asia's best-known diplomat, is doing in his new book, “The New Asian Hemisphere”.
Mr Mahbubani is now dean of the Lee Kuan Yew School of Public Policy at the National University of Singapore, and prefers the title of professor to ambassador, but this is no dry scholarly tome. It is an anti-Western polemic, designed to wake up Americans and Europeans by making them angry. In that goal, it will certainly be successful.
Interestingly, the author ascribes the success of Asian economies to their adoption of “seven pillars of Western wisdom”, so he does give some credit to the West. These are free-market economics; science and technology; meritocracy; pragmatism; a culture of peace; the rule of law; and education. Japan led the way in the late 19th century in realising the need to learn from the West if it was to avoid being colonised by it. South Korea and Taiwan followed in the 1960s and 1970s, along with Hong Kong and Singapore. Finally China and India saw the light in, respectively, the 1980s and 1990s. Since Asia has succeeded by emulating the West, why, asks Mr Mahbubani, is the West not celebrating?
Isn't it? What about all those business people flocking on aircraft to India and China? Mr Mahbubani offers no evidence for his assertion that the West is unhappy about Asian success. His answer to his own question is that the West—by which he means America and western Europe, plus Australia, Canada and New Zealand, and, more controversially, Japan—has become so used to dominating and controlling the world to serve its own interests that it has ceased to recognise even that it does so. “If you deny you are in power, you cannot cede power,” he argues.
Mr Mahbubani also contrasts “Western incompetence” with “Asian competence”: the world would be better run if Asians had a bigger role, though the West, he says, may try to stop that from happening. Ultimately, the rise of Asia may force the West to cede power, but it is not going to do so gracefully. As a result, there is a serious risk of an anti-Western backlash.
The first problem with this argument is shown by Mr Mahbubani's inclusion of Japan as a Western economy. That is not the way things felt during the 1980s, when what was meant by “the shift of power to Asia” was the rise of Japan. It also suggests that his definition of Western is really just “rich”: surely, as other Asian countries become rich, they too will become part of the rich ruling elite of the world, just as Japan did during the 1970s and 1980s. China and India are already invited as observers at the main rich-country summit, the G8, and it can only be a matter of time before they become full members.
The second problem is a bigger one. To arrive at his conclusion that the West is incompetent and Asia competent, Mr Mahbubani has to use a rather distorted view of recent history. When citing the debacle in Iraq he is, of course, shooting at a lame and sitting duck. But his other evidence is much weaker: the West's failure to maintain the global nuclear non-proliferation regime; the failure to prevent genocide in Rwanda and war in the Balkans; and the failure of the Doha round of global trade-liberalisation talks.
It is certainly lamentable that the nuclear non-proliferation regime has been crumbling. But whose fault is that? Of the four new nuclear-weapons states that have emerged in recent decades, three have been Asian—India, Pakistan and North Korea. Two of those—Pakistan and North Korea—attained their nuclear status with a technological helping hand from China, a country Mr Mahbubani rates as being run by peace-mongering geopolitical geniuses.
America and western Europe should certainly be criticised for failing to avert the terrible events in Rwanda and the Balkans. Mr Mahbubani's argument is also, however, that Asia has been much better at keeping the peace in its region. This view can be sustained only if you ignore the recurrent conflicts between India and Pakistan over Kashmir, and the civil war in Sri Lanka, as well as Asia's closest parallel to the former Yugoslavia, which is Indonesia. Neither China nor the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), which Mr Mahbubani lauds as far more successful diplomatically than the European Union, did anything to prevent the bloodshed in the then East Timor as it sought to separate itself from Indonesia, nor the bloodshed in Aceh, which failed to do so. In that, Asia's failure was just as big as that of the EU in the Balkans.
And the Doha round? A newspaper that was founded 165 years ago to campaign against farm protectionism cannot but join Mr Mahbubani in condemning the EU and America for clinging on to their farm subsidies and trade barriers, which have blocked progress in Doha. But Japan and South Korea are also big farm protectionists, and India has helped thwart Doha by its resistance to broader trade liberalisation. The blame should be as global as trade itself.
Mr Mahbubani's Asian triumphalism is as futile and unconvincing as the Western triumphalism he deplores. That is a shame, as the recommendations he makes for how world governance should be improved are sensible: Chinese and Indian membership of the G8; an end to American and European hogging of the top jobs at the IMF and the World Bank; reform of the UN Security Council to give permanent, veto-holding status to more Asian countries. All are regularly made by Western intellectuals too, even though he claims such minds are determined to maintain the supremacy of the West.

Tuesday, February 5, 2008

kita punya Kreta Api Baru...

fauzan zidni,

PT KA menurut berita ini berjanji akan menyelesaikan pembangunan jalan kreta pada awal 2009. proyek yang menghabiskan dana 3,9 Trilyun itu rencananya akan menghubungkan Bandara Soekarno Hatta ke Stasiun Manggarai via Muara Angke.

berita ini tentunya menarik karena dua hal, pertama rencana ini lebih cepat dibanding rencana awal yang 5 bulan lebih lama. reaksi yang spontan muncul adalah puji sukur dari penulis. masih terngiang pertengahan desember kemaren, ketika mengajak 4 Wisman yang juga teman kuliah, betapa malunya ketika naek bis damri dari Soekarno Hatta ke Gambir menghabiskan waktu 4 jam karena macet hujan. selain itu pembangunan rel kreta ini juga akan menambah akses ke Bandara yang selama ini di monopoli oleh jalan tol yang ketika banjir menimbulkan permasalah besar. kedua, pesimistis juga perlu penulis sampaikan, isu ini relatif menjadi komoditas pengalih isu banjir di Jalan Tol, dan dengan waktu yang dipercepat, kekhawatiran seperti kasus Jalan Tol CIpularang yang sangat rentan longsor karena pembangunan yang dikebut juga terus membayangi. jangan sampai karena mengejar waktu keselamatan penumpang nantinya dipertaruhkan. selain itu, apabila dibangun di jalur yang dekat dengan lokasi banjir jalan tol, klo kata orang betawi bilang gak ngaruh, sama aja... Isu 2009 juga semakin menarik karena menjelang pemilu 2009. SBY tentunya akan menjadikan ini sebagai produk keberhasilan pembangunan yang dia capai...

isu mengenai mass rapit transport untuk mengatasi kemacetan terutama di Jakarta dan beberapa kota besar lain juga semakin penting untuk segera di realisasikan. proses pembangunan monorail di Jakarta yang terkatung-katung patut dijadikan isu penting bukan hanya untuk Foke, tapi juga butuh intervensi pemerintah pusat untuk penyelesaiannya.

belajar dari Singapore, kalo melihat map ini, menunjukan perencanaan yang baik. monorel yang rencana dibangun di jakarta disini terkenal dengan nama LRT sebenarnya hanya mampu menampung sedikit penumpang, dan hanya di gunakan sebagai feeder untuk MRT, pada 2009 pula, saat kita berbangga menyelesaikan pembangunan rel kreta bandara, Singapore berhasil menyelesaikan proyek circle line (klo dilihat di map berwarna kuning). untuk jangka panjang, pada 2020 mereka akan menambah dua line lagi dengan total investasi 20 milyar SGD. dengan perkiraan lonjakan jumlah penumpang dari 1,4 juta penumpang (lebih dari 20% jumlah penduduk) menjadi 4.6 juta penumpang per hari pada 2020.

Indonesia gimana?

Monday, February 4, 2008

The New Asian Hemisphere


The Irresistible Shift of Global Power to the East


For centuries, the Asians (Chinese, Indians, Muslims, and others) have been bystanders in world history. Now they are ready to become co-drivers.
Asians have finally understood, absorbed, and implemented Western best practices in many areas: from free-market economics to modern science and technology, from meritocracy to rule of law. They have also become innovative in their own way, creating new patterns of cooperation not seen in the West.
Will the West resist the rise of Asia? The good news is that Asia wants to replicate, not dominate, the West. For a happy outcome to emerge, the West must gracefully give up its domination of global institutions, from the IMF to the World Bank, from the G7 to the UN Security Council.
History teaches that tensions and conflicts are more likely when new powers emerge. This, too, may happen. But they can be avoided if the world accepts the key principles for a new global partnership spelled out in The New Asian Hemisphere.
"In The New Asian Hemisphere, Kishore Mahbubani has given us a very powerful account of the world seen through Asian eyes, and has shown the global relevance of that penetrating vision. The book is both insightful and delightfully combative as well as fun to read."

If The World Could Vote

by: Kishore Mahbubani, Dean of Lee Kuan Yew School of Public Policy

The U.S. Presidential election may be the most undemocratic in the world. Only some 126 million Americans vote, yet the result is felt by 6.6 billion people. Indeed, in some ways it matters even more to non-Americans. The president is constrained domestically by many constitutional checks and balances, but this is far less true in foreign affairs.
Nevertheless, the world has yet to pick its favorite. It is clear, however, whose election would have the most dramatic effect: Barack Obama's. In one fell swoop, an Obama victory would eliminate at least half the massive anti-Americanism now felt around the world. Eight hundred million Africans would get a tremendous boost to their self-esteem and cultural pride. A son of their soil would, for the first time, occupy the White House, and many would whisper, approvingly, "Only in America."
Obama is not a Muslim, but the 1.2 billion Muslims around the world would take great interest in his middle name: Hussein. Indeed, the election of "H" would immediately undo much of the damage "W" has wrought. W pushed hard for the democratization of the Islamic world, but H's election would accomplish far more. Young Muslims would quickly start asking why America can elect a young Hussein when their own states are stuck with aging, visionless leaders. Obama has said that "the United States is seen as arrogant and aloof" and that "the world will work with—not against—U.S. power if it is put to principled use and directed towards common goals." Were he to implement this thinking as president, the world would become a much happier place.
placeAd2(commercialNode,'bigbox',false,'')
Of course, not everyone would be overjoyed. The Europeans would be the most cynical. For ages, they've believed that the world pays the price for American inexperience, and many would thus rather Hillary Clinton became president (and they'd be happy to accept Bill as part of the package). She is careful, cold and calculating; Europeans like that. She would also be well received by Latin Americans, who still love Bill and who would note the interesting parallel with Argentina and the Kirchners.
It is harder to anticipate the reactions of the new rising powers: China and India. For both states the stakes are high, since the United States can facilitate (or hinder) their return to great-power status. It's no wonder that both have long since developed a sophisticated feel for the U.S. electoral process. Way back in 1972, Chinese Prime Minister Zhou Enlai received a young Oxford student, Benazir Bhutto, in Beijing. Zhou, the lifelong Marxist, asked the Westernized Bhutto about the McGovern-Nixon race. She confidently predicted a McGovern victory. Zhou replied by giving a comprehensive, state-by-state analysis that proved Nixon would win. He was dead right, of course.
For different reasons, both China and India have come to appreciate the virtues of Republican presidents, who tend to be more predictable. Republicans also traditionally favor realism in geopolitics and support free trade. Bush may be unpopular in America, but he is beloved in India, more so even than Bill Clinton. This is owing to the U.S.-India nuclear deal, a powerful gift that legitimizes New Delhi's nuclear and great-power status.

That said, China and India are unlikely to favor the current Republican front runners. Their quiet preference may be for John McCain, who is by far the most experienced, is widely traveled and knows the world well. McCain's foreign-policy advisers are also decidedly centrist. It will be a surprise if he wins, but he will not pull any surprises if he does.
Mike Huckabee and Mitt Romney, on the other hand, hold unknown views. And the world may not be ready for a Southern preacher. As for Rudy Giuliani, his relentless focus on 9/11 and his preoccupation with the dangers of the world show him to be frighteningly out of touch. The world is not, in fact, becoming a more dangerous place; as I document in my new book, the march to modernity is creating new Asian middle classes in the hundreds of millions who are responsible stakeholders and want to join America in creating a more peaceful and stable world order.
Unfortunately, even as the world is becoming more predictable, America is becoming less so. It has one of the least informed populations on the planet, and the quality of the presidential debates on global issues has been appalling. Bhutto's death provided the candidates an opportunity to demonstrate their statesmanship toward a pivotal country. But they all failed this test, resorting to grandstanding instead. Hillary Clinton, for example, declared her longstanding friendship with Benazir but failed to mention Bhutto's many flaws. Bill Richardson excoriated President Pervez Musharraf and called for the elimination of U.S. aid to Pakistan, but failed to mention that Pakistan's long military rule was a direct result of U.S. support. Such statements betrayed an apparent failure to grasp the complexity of the world. By and large, the candidates have wasted the opportunity to provide new intellectual and political leadership to America and the world. This is probably the greatest tragedy of the race. There has never been a greater need for new U.S. leadership, yet the candidates offer little hope that this will come any time soon.

Mahbubani is dean of Singapore’s Lee Kuan Yew School of Public Policy and author of “The New Asian Hemisphere: The Irresistible Shift of Global Power to the East.”
© 2008 Newsweek, Inc.

Antara Temasek dan Pemerintah

Imelda Maidir, Lee Kuan Yew School of Public Policy.
Kompas 15 Agustus 2007


Ramai diberitakan bahwa Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU sedang menyelidiki kemungkinan PT Telkomsel melakukan persaingan semu dengan PT Indosat Tbk, dan didalangi Temasek Holdings dari Singapura yang secara tidak langsung memiliki saham di kedua perusahaan tersebut.
Kedua perusahaan itu dituding melakukan persaingan fiktif dalam penentuan tarif dan/atau alat persaingan lainnya (nonharga) demi kepentingan pemiliknya, tetapi merugikan konsumen.
Menurut Tim Pemeriksa KPPU, kelompok Temasek melanggar Pasal 27 huruf a yang berbunyi: "Pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, atau mendirikan beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, apabila kepemilikan tersebut mengakibatkan: a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih 50 persen pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu".
Semula ada anggapan KPPU akan menghentikan pemeriksaan setelah pemeriksaan pendahuluan. Alasannya, (1) secara prosedural pemeriksaan Tim Pemeriksa KPPU melanggar ketentuan tentang rentang waktu proses pemeriksaan yang ditetapkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999; (2) seandainya perkara tersebut bukan didasarkan atas laporan masyarakat, tetapi dikategorikan sebagai "Perkara Inisiatif", berarti KPPU harus bekerja sesuai ketentuan internalnya yang tidak boleh bertentangan atau melanggar UU No 5/1999.
Kenyataannya, pemeriksaan diteruskan menjadi "Pemeriksaan Lanjutan" terhitung sejak 23 Mei 2007. Pasal yang dituduhkan adalah Pasal 27 huruf a.
Ada beberapa kejanggalan dalam perkara ini. Pertama, dalam pemeriksaan lanjutan jumlah perusahaan terlapor justru lebih banyak dari pemeriksaan pendahuluan. Kedua, KPPU telah menyebutkan bentuk hukuman yang akan dikenakan jika terbukti terlapor melakukan pelanggaran seperti dituduhkan, tetapi belum diungkapkan dasar perkaranya.
Yang pertama harus dilihat ialah kepemilikan saham dari pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha itu. Hasil penelusuran menunjukkan, Temasek Holdings memiliki saham secara tidak langsung pada PT Indosat sebesar 30,615 persen dan pada PT Telkomsel sebesar 18,95 persen. Dengan komposisi kepemilikan saham seperti ini dapat disimpulkan bahwa Temasek Holdings tidak memiliki saham mayoritas di kedua perusahaan tersebut. Jadi, tuduhan bahwa Temasek Holdings melanggar Pasal 27 huruf a tidak berdasar.
Namun, muncul pendapat bahwa kepemilikan saham kelompok Temasek harus dikaitkan dengan kegiatannya yang memengaruhi pasar. Walaupun kepemilikannya kurang dari 50 persen belum tentu Temasek tidak melanggar Pasal 27 huruf a.
Pertanyaan, mengapa Temasek Holdings yang jumlah sahamnya yang jauh di bawah 50 persen (tidak mayoritas) terus diperiksa, tetapi pihak pemerintah, pemilik saham Indosat, dan Telkomsel (kepemilikan kurang lebih sama dengan Temasek Holdings) tidak diperiksa?
Pertanyaan itu memiliki dasar kuat. Pemerintah memiliki saham Indosat 14,29 persen (lebih kecil dari kelompok Temasek, yaitu 30,61 persen) dan memiliki saham Telkomsel secara tidak langsung 33,27 persen (jauh lebih besar dari kepemilikan kelompok Temasek, yaitu 18,95 persen). Dengan kepemilikan tersebut, tidak sulit bagi pemerintah untuk mengarahkan kebijakan kedua perusahaan untuk mencapai tujuan tertentu.
Ditentukan pemerintah
Sampai akhir 2006, tarif untuk operator seluler ditentukan pemerintah berdasarkan Keputusan Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi No KM. 27./PR. 301/MPPT-98. Dengan demikian, tidak terlalu keliru jika dikatakan selama kurun waktu tersebut pemerintah dapat menentukan, secara langsung maupun tidak, arah kebijakan kedua perusahaan tersebut.
Penetapan harga oleh pemerintah adalah bukti nyata intervensi pasar dan menjadikan tingkat persaingan harga di antara pelaku usaha menjadi terbatas atau tak berlangsung secara penuh.
Pemerintah juga memiliki saham Indosat dan Telkomsel yang pangsanya tidak jauh beda dengan pangsa kepemilikan tidak langsung Temasek.
Apakah tidak mungkin keputusan KPPU untuk melanjutkan pengusutan terhadap kelompok Temasek justru akan berdampak negatif terhadap upaya pemerintah untuk mengundang investor asing ke Indonesia? Apalagi pemerintah telah menyatakan tidak berniat untuk membeli kembali saham yang dimiliki kelompok Temasek di Indosat.
Ada baiknya menyimak lebih jauh tentang perubahan porsi kepemilikan kelompok Temasek dan pemerintah dalam beberapa tahun terakhir. Ini bisa dilihat dari berbagai segi, seperti pendapatan perusahaan dan nilai tambah bruto. Dengan mempergunakan data LPEM UI (Studi Mengenai Kerugian Konsumen Akibat Persaingan Usaha yang Tidak Sehat di Industri Telepon Seluler di Indonesia Mei 2007) dan hasil studi yang dilakukan Pande Radja Silalahi yang dipresentasikan pada seminar yang diselenggarakan Komisi Hukum Nasional terlihat gambaran yang sangat menakjubkan.
Dari segi pendapat usaha, ternyata pangsa Pemerintah Indonesia meningkat dari 22,61 persen pada tahun 2003 menjadi 24,85 persen pada tahun 2006. Dalam waktu yang bersamaan, pangsa kelompok Temasek justru mengalami penurunan dari 21,44 persen pada tahun 2003 menjadi 20,12 persen pada 2006.
Kalau dilihat dari segi nilai tambah bruto, pangsa Pemerintah Indonesia mengalami peningkatan dari 23,43 persen pada tahun 2003 menjadi 26,00 persen pada tahun 2006. Dan dalam periode yang sama pangsa kelompok Temasek justru turun dari 20,57 persen pada tahun 2003 menjadi 19,79 persen pada tahun 2006 (lihat tabel).
Melihat perkembangan ini muncul pertanyaan, bila Temasek benar melakukan koordinasi untuk memengaruhi atau mendikte pasar, apakah kelompok ini tidak menyadari bahwa itu akan merugikan dirinya sendiri? Mengapa KPPU justru tidak menyarankan agar pemerintah tidak menetapkan harga?
Salah satu fungsi utama KPPU ialah mengawasi agar persaingan usaha berjalan sehat tanpa campur tangan dari luar.

Saturday, February 2, 2008

Ekonomi Politik Pertambangan di Indonesia

Ekonomi Politik Pertambangan di Indoneia

Fauzan Zidni, Lee Kuan Yew School of Public Policy

Pemahaman mengenai ekonomi politik dalam sektor pertambangan di Indonesia tidak lepas dari latar belakang undang-undang yang mengaturnya. Negara merupakan entitas yang memiliki otoritas pengaturan atas kehidupan politik dan ekonomi. Namun demikian, peranan negara di dalam melakukan regulasi atas aktivitas ekonomi dan politik tersebut memiliki beragam variasi tergantung ideologi penyelenggara negara pada saat membuat aturan tersebut. Dalam konteks pertambangan di Indonesia terdapat beberapa perubahan yang cukup drastis dan menarik untuk dikaji lebih lanjut.
Tulisan ini akan menguraikan ekonomi politik pertambangan di Indonesia. Pembahasan akan diawali oleh sejarah masuknya modal asing dalam sektor pertambangan di Indonesia yang dikaji berdasarkan undang-undang yang mengaturnya. Undang-undang tersebut menghasilkan beragam tingkatan keterlibatannya dalam kehidupan masyarakat. Di dalam sektor pertambangan, variasi keterlibatan negara memiliki berbagai bentuk sesuai undang-undang dan perjanjian yang mengikatnya. Kemudian, pembahasan akan berlanjut kedalam pembahasan yang lebih bersifat politis. Pasca runtuhnya rezim Orde Baru yang menghasilkan perubahan varian sistem politik yang juga berdampak kepada sektor usaha pertambangan, tulisan ini juga akan membahas lebih lanjut bagaimana perubahan politik tersebut berpengaruh kedalam ekonomi politik sektor pertambangan.

Sejarah Masuknya PMA Sektor Pertambangan di Indonesia


Kehadiran modal asing dalam sektor pertambangan pada awalnya disebabkan oleh ketidak mampuan pemerintah maupun pengusaha nasional untuk melakukan eksplorasi. Hal ini dikarenakan biaya investasi yang sangat besar dan ketidakmampuan secara teknologi. Kehadiran modal asing sebagai kontraktor tentunya memerlukan aturan main yang jelas. Dalam sejarahnya terdapat beberapa fase regulasi di sektor pertambangan.

Fase Penjajahan Kolonial. Belanda : Mijn Reglement 1850, Ordonantie 1910, dan Ordonantie 1918. Jepang : UU No.1/1942 Penguasa Kolonial Jepang
Sejarah masuknya penanaman modal asing ke dalam sektor pertambangan di Indonesia dimulai pada masa penjajahan Belanda. Sebagai otoritas tunggal yang mengatur berbagai permasalahan di negeri jajahannya pemerintah kolonial menerbitkan peraturan Mijn Reglement 1850. Peraturan tersebut mengatur tentang pemberian konsesi kepada swasta untuk melakukan usaha pertambangan. Peraturan tersebut juga mengatur adanya pembagian wewenang dalam pemberian ijin pertambangan antara Pemerintah Kerajaan Belanda dan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.[1]
Tercatat, hingga tahun 1938 ada 471 perusahaan yang bergerak di sektor usaha pertambangan. Kemudian dalam Ordonantie 1910 dinyatakan bahwa pemerintah bisa bekerja sama dengan swasta dalam bentruk Ordonantie 1918 yang menyatakan tidak diperlukannya persetujuan melalui UU untuk kontrak eksplorasi dan eksploitasi.[2] Perubahan yang terjadi pada Ordonantie 1910 ialah penambahan terhadap pasal 5a. Pasal inilah yang menjadi dasar bagi kontrak karya pertambangan, yang kemudian pada saat itu dikenal sebagai “5 a contract”.[3]
Pada masa penjajahan Jepang, melalui UU No.1/1942, Penguasa Kolonial Jepang masih mengakui semua aturan perundang-undangan yang diberlakukan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda sejauh tidak bertentangan dengan aturan Pemerintah Militer Jepang di Indonesia. Pada masa penjajahan Jepang, tercatat ada empat perusahan pertambangan Jepang yang beroperasi di Indonesia, yaitu Ishihara Sankyo, Mitsui Kozan, Nippon Chissui dan Mitsubishi Kaisha yang antara lain beroperasi dalam sektor pertambangan batu bara.[4]

Fase Nasionalisasi
Setelah Indonesia merdeka peraturan pertama yang mengatur sektor pertambangan dinyatakan dalam UU No. 78/1958. UU tersebut menyatakan usaha pertambangan yang vital tertutup bagi modal asing. Selain itu juga, usaha pertambangan yang dikuasai pihak asing, khususnya Belanda, harus di nasionalisasikan berdasarkan UU No. 86/1958. Tahun 1959, melalui UU No.10/1959 tentang Pembatalan Hak-Hak Pertambangan.
Undang-Undang yang lahir pada masa Orde Lama ini muncul karena dua hal yang terjadi pada saat itu. Pertama, pergolakan-pergolakan yang muncul di sekitar wilayah kerja pertambangan minyak di Daerah Istimewa Provinsi Aceh dan pantai timur Sumatera. Kedua, persoalan-persoalan yang muncul dalam pertambangan timah dan nasionalisasi menjadi milik pemerintah Indonesia.[5] Pada awal permulaan kemerdekaan, hasil minyak bumi, timah dan bahan galian lainnya akan dapat menjadi sumber keuangan yang cepat digunakan untuk kepentingan negara. Namun, aturan yang berlaku sejak Indonesia merdeka hingga 1951 adalah undang-undang pertambangan yang memberikan kekuasaan dan hak yang terlalu besar kepada pihak pemegang konsesi pertambangan.[6]
DPR pada masa itu merasakan pentingnya pergantian UU pertambangan peninggalan masa penjajahan Belanda. Kemudian Mr. Teuku Muhammad Hasan mengajukan mosi untuk perubahan UU tersebut. Mosi tersebut berisikan usul untuk membentuk Panitia Negara Urusan Pertambangan, yang kemudian diterima oleh DPR pada 2 Agustus 1951.[7]
Oleh pimpinan DPR mosi tadi dengan perumusannya disampaikan kepada pemerintah disertai dengan usulan dari parlemen yaitu tentang status pengusahaan dan tambang minyak, serta tambang lainnya, persiapan RUU dan bagi hasil negara dengan perusahaan tambang asing. DPR juga memberikan tugas kepada panitia negara yang diusulkannya sebagai berikut :[8]
Secepat mungkin menyelidiki permasalahan-permasalahan mengenai berbagai masalah tambang di Indonesia.
Mempersiapkan RUU Pertambangan Indonesia yang sesuai dengan konteks Indonesia pada saat itu.
Memberi pertimbangan kepada tentang sikap pemerintah terhadap status tambang minyak di Sumatra Utara dan Cepu khususnya serta tambang-tambang minyak lainnya.
Memberikan pertimbangan kepada pemerintah tentang status tambang timah di Indonesia/
Memberikan pertimbangan kepada pemerintah tentang pajak cukai atas bahan-bahan minyak dan penetapan harga minyak.

Pelaksanaan secara lebih lanjut dilaksanakan oleh pemerintah dengan dibentuknya panitia negara dan panitia pembantu teknisnya. Panitia Negara bertugas mengumpulkan data dan merumuskan kedalam RUU ini beranggotakan : Mr. Lukman Hakim dan Mr. Moh. Rum. Sedangkan panitia teknisnya terdiri dari Ir. Anondo, S.M., Sair dll, kemudian pada 1958 digantikan dengan Ir. Ukar Binatakusumah, Sajuti Thalib S.H., Dr. Sanger, Ir. Salman Padmanegara. Pada masa Menteri Dr. Chaerul Saleh UU yang dihasilkan oleh tim tersebut kemudian disahkan yang dipecah kedalam dua buah UU yaitu, UU Pertambangan dan UU Pertambangan Minyak dan Gas Bumi.[9]
Kondisi sosial politik pada saat UU tersebut disahkan pada akhir 1958 dan selama 1959 adalah saat yang penuh semangat dalam perbaikan ekonomi melalui nasionalisasi perusahaan asing terutama Belanda menjadi milik pemerintah. Dalam situasi seperti itu, kemudian lahir UU No.10/1959 tentang Pembatalan Hak-Hak Pertambangan Asing di Indonesia yang menjadi dasar hukum bagi pemerintah untuk mengambil alih aset pertambangan milik asing.[10] Untuk melengkapi UU tersebut, pemerintah juga menerbitkan dua Pernyataan Pemerintah dan satu Peraturan Pemerintah yaitu, Pernyataan Pengambilalihan Perusahaan Pertambganan Singkep, Pernyataan Pengambil alihan Perusahaan Pertambganan Singkep, dan Peraturan Pemerintah pengambil alihan perusahaan-perusahaan asing, termasuk perusahaan-perusahaan pertambangan.[11]
Khusus mengenai UU No.10/1959 tentang Pembatalan Hak-Hak Pertambangan asing di Indonesia kita dapat menganalisis hubungannya dengan persiapan pembuatan UU Pertambangan. Biasanya, dalam setiap UU baru selalu ada pasal peralihan yang mengatur hubungan hasil pelaksanaan UU terdahulu dengan UU yang baru. Hal ini berguna untuk penerapan dasar kekuatan berlakunya UU yang baru. Pasal peralihan tersebut berisikan pengakuan dari Pemerintah RI terhadap semua hak-hak pertambangan yang diberikan oleh penguasa kolonial Belanda maupun Jepang dengan penyesuaian kepada kehendak UU yang baru.
Kemudian, setelah diselidiki, ternyata terdapat 2.871 hak pertambangan yang telah diterbitkan oleh pemerintah kolonial yang berisikan 245 izin penyelidikan pertambangan, 60 kontrak 5a eksplorasi, 66 kontrak 5a eksplorasi-eksploitasi, 272 konsesi eksploitasi, dan 21 permohonan konsesi eksploitasi. Dengan mempelajari hal ini, kita akan melihat perlu adanya penyelsaian lebih dahulu tentang hak-hak yang berlaku lewat pemberian konsesi oleh pemerintah kolonial. Namun setelah diperiksa, ternyata banyak hak pertambangan tersebut yang tidak dikerjakan lagi. Beragam alasan yang ada, mulai dari keadaan yang masih belum aman di karenakan perang yang berkepanjangan hingga perusahaan yang mayoritas milik Belanda sudah ditinggal oleh pemiliknya. Untuk menjamin kepastian hukum ditambah pertimbangan politis untuk mempersiapkan jalan yang lancar bagi UU Pertambangan yang baru, maka terbitlah UU Tentang Pembatalan Hak-Hak Pertambangan Asing.[12]
Terbitnya UU tersebut menurut penulis bukan saja disebabkan oleh semangat nasionalisasi aset-aset asing di Indonesia, tetapi juga dikarenakan kebutuhan yang lebih bersifat adanya kepastian hukum. Beberapa tahun kemudian, karena memang konteks sosial politik berubah maka UU Pertambangan No.37 Prp. Tahun 1960 tersebut digantikan oleh UU Pokok Pertambangan No.11 Tahun 1967 yang berlaku hingga saat ini.

Fase Orde Baru
Perubahan rezim dari Orde Lama ke Orde Baru ikut mengubah paradigma berpikir rezim pemerintahan. Semangat Orde Lama pada awal kemerdekaan Indonesia adalah semangat nasionalisme. Semangat ini kemudian digantikan dengan tujuan pragmatis untuk mendorong pembangunan ekonomi Indonesia pada masa Orde Baru. UU No.1/1967 tentang Penanaman Modal Asing menjadi payung hukum bagi masuknya investor asing dalam berbagai bidang usaha di Indonesia. UU ini menegaskan usaha pertambangan bisa dimasuki modal asing berdasarkan kerjasama dengan pemerintah melalui Kontrak Karya. Aturan ini kemudian diperkuat lewat UU No.11/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan yang memberikan peluang kepada modal asing untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan tambang Indonesia. Selain itu, UU ini menyatakan pembatalan terhadap UU No. 37 Prp/1960 tentang Pertambangan yang menyatakan bahan galian dikuasai oleh negara.
Lebih lanjut, aturan yang dikeluarkan oleh Orde Baru memberikan kesempatan yang luar biasa besar dan mudah untuk masuknya modal asing kedalam sektor pertambangan nasional. Selama perusahaan asing itu mendirikan perusahaan berbadan hukum yang sesuai dengan peraturan perundangan di Indonesia, maka perusahaan tersebut bisa beroperasi. Karena memang UU No. 11/1967 itu memberikan peluang besar pada perusahaan swasta bahkan perorangan warga negara Indonesia atau berdomisili di Indonesia untuk ikut terlibat dalam bisnis pertambangan. Meskipun pada kenyataanya sektor pertambangan kemudian di monopoli oleh perusahaan asing dan BUMN. Selain itu pertambangan perseorangan yang sudah ada sejak dahulu ikut tersingkirkan.
Fase pemerintahan Orde Baru juga telah menghasilkan ratusan kontrak karya bagi MNCs maupun perusahan lokal. Banyaknya kontrak pertambangan di Indonesia telah memberikan asumsi yang keliru, seakan-akan sistim kontrak di sektor pertambangan pertama kali diperkenalkan ke dunia oleh Indonesia. Bahkan ada wacana yang berusaha memberikan suatu legitimasi dengan mendasarkannya kepada hukum Adat. Yaitu, dengan menghubungkan kontrak bagi hasil (production sharing contract) dengan ‘paruh’,‘pertelu’, dan lainnya.[13]
Secara konstitusional sebenarnya tidak ada alasan untuk menolak pengusahaan sumberdaya mineral di Indonesia. Pasal 33(3) UUD'45 telah memberikan kuasa kepada pemerintah untuk mengatur diusahakannya sumberdaya mineral. Yang penting adalah bagaimana pemerintah mengontrol sumberdaya mineral ini sehingga memberikan manfaat bagi Indonesia. Dari segi pengadministrasian pengusahaan, secara sederhana dapat dikatakan bahwa terserah kepada pemerintah bagaimana mengatur pengusahaan penambangan bahan-bahan galian, mana yang ingin dijadikan monopoli pemerintah dan mana yang boleh diusahakan oleh swasta melalui lembaga perizinan, apapun itu nama izin yang diberikan.[14]
Pada awal-awalnya Indonesia, sebagaimana negara-negara dunia ketiga lainnya, memperlakukan sektor pertambangan dengan ekstra hati-hati. Hal ini tercermin dalam undang-undang pertambangan yang sangat nasionalistik. Kemudian, karena ketidakmampuan dalam modal, teknologi, dan manajemen, berangsur-angsur berubah menjadi liberal. Terlepas dari misi baik yang diemban PBB, justeru di bawah pengaruh PBB-lah negara-negara terbelakang mulai membuka pintunya dengan memperkenalkan undang-undang penanaman modal asing (PMA). Sekarang ini mengapa ada pengusahaan pertambangan sendiri oleh BUMN-BUMN (seperti Pertamina, Aneka Tambang, Timah, Tambang Batubara Bukit Asam, termasuk BUMD-BUMD seperti PD Kerta Pertambangan Jawa Barat, PD Pertambangan DI Yogyakarta, dan PD Pertambangan Dati II Jember) dan ratusan kontrak-kontrak kerjasama disamping pengusahaan pertambangan berdasarkan pemberian izin yang biasa, tidak lain adalah merupakan usaha pemerintah dalam rangka mengejar manfaat tadi.[15]
Jika memang harus melalui pengusahaan sendiri yang berarti monopoli, maka adalah penting bahwa itu hanya bisa dilakukan apabila pemerintah sanggup untuk membiayai dan mengerjakan sendiri semua-semuanya termasuk tahap yang beresiko tinggi dan padat modal seperti eksplorasi dan konstruksi. Biasanya, kunci utama dalam pengusahaan sendiri adalah efisiensi. Sedangkan tanpa memperhatikan dari dekat kemampuan teknologi, manajemen, dan pemasaran BUMN-BUMN di Indonesia, dari sudut permodalan saja sekarang ini pemerintah sudah nyata-nyata tidak mampu. Selanjutnya, fakta mengungkapkan bahwa BUMN-BUMN di Indonesia jauh dari apa yang disebut dengan efisien.[16]
Tidak heran apabila kontrak-kontrak kerjasama di sektor pertambangan menjadi sangat penting peranannya, karena sistem ini adalah cara utama bagi PMA berusaha di sektor pertambangan. Hukum pertambangan di Indonesia masih belum memperbolehkan PMA langsung sebagai pemegang izin pertambangan. Walaupun kenyataannya, sebagai terobosan dalam menjawab tuntutan keadaan, kontrak karya, dari sudut pemberian hak-haknya, sudah hampir sama saja dengan izin pertambangan. Mengingat bahwa dasar dari pengusahaan adalah semata-mata kontrak, maka berbeda dengan pengaturan rezim hukum pertambangan, peranan pihak yang mempunyai bargaining powers sangat besar. Dari pihak PMA, sudah tentu mereka tidak akan mau datang kalau tidak ada prinsip fair treatment. Perlu menghindar dari pemerintah tuan rumah yang menjadi tamak ketika PMA berhasil menemukan bahan galian yang dieksplorasinya. Jadi tugas pemerintah adalah bagaimana membuat formula yang seimbang.[17]
Selama sistem PMA di sektor pertambangan masih menganut sistem kontrak, memang pemerintah (termasuk pemerintah daerah) harus selalu ulet dalam bernegosiasi dengan PMA tambang. Secara umum, keuntungan yang diperoleh suatu negara dari pemberian izin pertambangan adalah dari pajak dan royalti disamping hal-hal yang tidak langsung seperti penyediaan lapangan kerja dan perangsangan pertumbuhan daerah. Biasanya negara-negara sangat cepat untuk saling mempelajari berapa sesungguhnya persentase royalti dan pajak yang lazim. Perolehan dari royalti (iuran tetap dan iuran produksi) dan pajak inilah yang harus diawasi dengan sungguh-sungguh, jangan sampai bocor atau tertipu.[18] Dalam menganalisa masalah regulasi yang dikeluarkan pemerintah, Adam Przewerski menjelaskan posisi yang lebih baik yang dimiliki oleh sektor privat. Ini disebabkan oleh pengetahuan lebih relevan yang tidak diketahui pembuat peraturan.[19]
Jika dulu pemerintah mengundang Freeport dan PMA tambang lain dengan tax-holiday untuk beberapa tahun, maka selain karena itu merupakan strategi saat itu untuk mengundang masuk PMA, hal itu juga diimbangi dengan keharusan PMA untuk membuka daerah, membangun sekolah dan rumah-sakit dan lain sebagainya, yang dikenal dengan community programs. Dari segi hukum PMA-nya sendiri, PMA diharapkan untuk melakukan training (alih teknologi) dan program divestasi atau penyertaan modal dalam negeri. Namun apabila perusahaan PMA sudah dikenakan pajak berdasarkan hukum perpajakan yang berlaku umum disamping pembayaran royalti, maka tidak heran jika trend-nya sekarang ini bagi PMA untuk menghindar dari kewajiban-kewajiban pembangunan sekolah, rumah-sakit dan sejenisnya, mengacu kepada praktek-praktek dunia pertambangan umumnya. Demikian pula dengan program divestasi, negara-negara majupun seperti Australia, bila tidak ada pengusaha dalam negeri yang mau mengikutsertakan modalnya pada perusahaan tambang asing, tidak harus program divestasi tersebut dilaksanakan secara paku-mati.[20] Tetapi permasalahannya adalah, dengan hadirnya desentralisasi, apabila pada masa Orde Baru pemerintah pusat merasa tidak memerlukan pembelian divestasi, maka kehadiran entitas baru yang memiliki kewenangan yang kuat yakni pemerintah daerah yang selama ini di anak tirikan membuat mereka menginginkan bagian terhadap kepemilikan saham divestasi tersebut.
Jadi, selama PMA tambang masih berdasarkan sistem kontrak, pemerintah memang harus adu ulet dalam bernegosiasi. Disamping itu, jika memang pemerintah dan kondisi perusahaan swasta nasional memungkinkan, pemerintah dapat menetapkan policy yang dapat mendongkrak kemampuan perusahaan swasta nasional di sektor pertambangan, seperti penyertaan modal dalam negeri/lokal pada waktu usaha tambang memasuki tahap produksi, sehingga bukan saja ketergantungan kepada PMA yang berkurang tetapi misi pemerintah yang diembankan oleh UUD'45 tercapai.
Tetapi sayangnya, usaha pemerintah dalam regulasi dan praktek usaha pertambangan justru memarjinalkan kaum adat dan pertambangan perseorangan yang secara tradisi sudah mengakar di masyarakat. Kehadiran perusahaan pertambangan di daerah juga menghasilkan kesenjangan yang besar dengan masyarakat. Melihat banyak kasus di daerah, kondisi yang kontras antara pemukiman pegawai dengan masyarakat sekitar juga fasilitas yang ada di antara keduanya menimbulkan kerawanan konflik sosial yang akan sulit dikendalikan apabila dibiarkan begitu saja.
Kehadiran MNC dalam sektor pertambangan khususnya di sektor batubara dimulai pada periode 1980an. Indonesia yang mendapatkan keuntungan yang luar biasa pada periode bonanza minyak bumi dan gas alam harus menghadapi kenyataan turunnya harga minyak bumi. Ini berakibat pada penurunan pendapatan negara dari sektor migas yang mencapai 70 persen dari pendapatan negara.[21] Menghadapi situasi seperti itu, M Sadli, Menteri Pertambangan pada saat itu menerapkan sistem pasar pada sektor industri pertambangan.[22] Sebelumnya, sektor pertambangan khususnya batubara adalah monopoli dari BUMN ditambah beberapa perusahaan kecil pertambangan milik Indonesia dengan rata-rata produksi hanya berkisar 1-4 juta ton per tahun.[23] Substitusi dari migas ke batu bara juga merupakan strategi diversifikasi untuk penggunanan energi domestik agar penggunaan migas lebih di prioritaskan untuk ekspor.

Beberapa Permasalahan dalam Sektor Pertambangan di Indonesia


Dalam menganalisa sektor pertambangan di Indonesia, permasalahan keharusan divestasi hanyalah salah satu dari sekian banyak dampak sosial maupun lingkungan yang dihasilkan oleh situs pertambangan. Kasus teluk buyat di Sulawesi misalnya, menjadi perhatian serius bagi banyak pihak. Selain itu terdapat beberapa permasalahan yang akan penulis coba uraikan berikut ini :

Konsep Dasar Pengelolaan Sumber Daya Mineral
Secara konstitusional pengelolaan sumber daya mineral mengacu pada pasal 33 ayat 2 dan 3 UUD 1945, sebagai berikut : 2) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menyangkut hajat hidup rakyat dikuasai negara. 3) bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Namun, UU No.11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan, dalam perkembangannya selama 40 tahun, yang memuat tujuan dan cita-cita bangsa dan Negara untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat belum sepenuhnya terwujud. UU tersebut memiliki berbagai kelemahan dan kendala. Adanya berbagai perubahan di berbagai bidang secara kontemporer seperti desentralisasi, demokratisasi, tuntutan transparansi pada masa refirnasu membuat UU tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan saat ini. Berikut hal-hal yang dianggap sudah tidak sesuai :
1. Kemitraan Usaha Pertambangan.
Pada pasal 33 ayat 1 menyebutkan “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan”, hal ini tidak tercermin dan terjabarkan dalam UU No.11 tahun 1967. Meskipun terdapat pengaturan tentang koperasi, pertambangan perorangan dan pertambangan rakyat, namun pada kenyataannya bahkan peraturan pelaksanaan lebih lanjutnya saja tidak ada. Apalagi berharap kemitraan terhadap pemain kecil di sektor pertambangan dapat terlaksana.
2. Kriteria Cabang Produksi yang Penting.
Dalam Pasal 33 ayat 2 dijelaskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting dikuasai oleh Negara. UUD memang tidak mengatur kriteria cabang-cabang produksi yang penting. Namun, fatalnya begitu juga yang terjadi dalam berbagai UU yang mengatur tentang pengolahan sumber daya alam lainnya. Memang, dalam UU No.11 tahun 1967 disebutkan kriteria “strategis” dan “vital”, tetapi tidak ada batasan apa saja yang dimaksud dengan kedua kriteria tersebut. Dalam prakteknya pemerintah menentukan dan mengolah sendiri berbagai usaha pertambangan melalui BUMN dan Kontrak Karya/PKP2B yang akhirnya menjadi dominasi mereka saja.
3. Penguasaan dan Pemilikan atas Barang Tambang.
Masih dalam keterkaitan dengan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, pengertian “dikuasai oleh Negara” tidak ada penjelasan secara tegas apakah “dikuasai oleh Negara” juga berarti “dimiliki oleh Negara”. Dalam pasal 1 UU No.11 tahun 1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan mengenai pengusahaan bahan galian ditentukan sebagai berikut :
Semua bahan galian yang terdapat dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia yang merupakan endapan-endapan alam sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah Kekayaan Nasional Bangsa Indonesia dan karenanya dikuasai dan dipergunakan oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat

Berikut adalah tiga buah contoh kasus konflik interpretasi atas pasal 33 ayat 3 UUD 1945 tersebut antara masyarakat dengan pemerintah :
a. PT Kelian Equatorial Mining vs Komunitas Dayak.
PT Kelian Equatorial Mining dan komunitas lokal dayak terlibat dalam suatu kontrak penambangan di Kalimantan. Setelah ditandatangani, kedua pihak terikat pada aturan yang disepakati kedua belah pihak dan dimediasi oleh pemerintah pusat. Perusahaan tersebut kemudian mengambil alih pemilikan tanah dan membayar kompensasi kepada hak ulayat masyarakt pemilik tanah tersebut. Namun demikian, penduduk setempat berargumen bahwa perjanjian tersebut tidak dapat mengalihkan kepemilikan tanah. Karena menurut mereka kontrak ini bukan kontrak penjualan, melainkan hanya mengatur perizinan bagi perusahaan itu untuk menggunakan tanah asalkan sesuai dengan kepentingan penduduk setempat. Warga setempat mengklaim sebagai pemilik tanah dan yakin bahwa hak-hak bersama mereka masih melekat pada tanah tersebut. Manakala masyarakt setempat memandang bahaw pihak manajemen perusahaan terkait tidak dapat memenuhi kepentingan masyarakat setempat. Maka mereka menuntut perubahan perjanjian menyangkut tanah yang dicakup oleh kontrak pertambangan tersebut serta menuntut untuk dapat mengelola sendiri sumber daya alam mereka.[24]

b. PT Ampalit Mas Perdana vs Masayarakat Ampalit.
Kasus PT Ampalit Mas Perdan dan Masyarakat Ampalit merupakan contoh lain. Dalam kasus ini, masyarakat bersikeras bahwa Pasal 33 UUD 1945 hanya memberi kewenangan kepada negara untuk mengembangkan sumber daya mineral untuk kebaikan bangsa, dan bahwa kepemilikan sumberdaya mieral tersebut tetap merupakan hak pemilik tanah. Namun denikian, pihak perusahaan mengklaim bahwa pihaknya kini telah memiliki mineral tersebut karena telah memenuhi seluruh kewajiban yang ditetapkan atas pihaknya berdasarkan kontrak, dan tealh membayar kompensasi. Untuk itu, pihak perusahaan menuntut hak tunggal untuk menguasai dan mengambangkan tanah. Akan tetapi, masyarakat setempat menghakimi sendiri kasus tersebut dan merusak fasilitas perusahaan di situs pertambangan tersebut. Masyarakat setempat juga yakin karena hukum adat mereka menempatkan kepemilikan sumber daya mineral atas mereka, maka mereka juga memiliki hak untuk mengembangkan mineral tersebut dan menjualnya. Namun demikian, pemerintah berpendirian bahwa penambangan tradisional atau penambangan adat itu adalah ilegal karen cara-cara penambangan tidak dilakukan berdasarkan UU dan peraturan yang berlaku.[25]

c. Kasus Aurora Gold
Konflik terbaru antara pihak penambang dan masyarakat yang melakukan penambangan tradisional (atau berdasarkan versi pemerintah adalah “penambangan illegal”) adalah kasus yang melibatkan perusahaan penambangan Australia, Aurora Gold. Perusahaan itu mengeluhkan bahwa proyeknya terganggu oleh adanya penambangan illegal dan terkendala karena kurangnya dukungan pemerintah. Kawasan penambangannya dijarah oleh sekitar 2.000 hungga 3.000 penambang ilegal, yang telah merubah situs penambangan itu menjadi bencana lingkungan dengan penggunaan zat mercury yang berlebihan.[26] Pihak pemerintah setempat menunjukkan keengganan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Tambang emas Aurora terakhir beroperasi pada tahun 2002 yaitu Mount Muro di Kalimantan Tengah.[27]

Negara sebagai “penguasa atas kekayaan alam” mengandung pengertian kewajiban dan wewenang dalam bidang hukum publik. Negara punya kewenangan untuk mengatur kekayaan alam seperti sumber daya mineral. Apabila masih merupakan kesatuan dengan bumi dan masih merupakan bongkahan maka tugas negara sebagai penguasa berwenang untuk mengaturnya. Sedangkan sudah menjadi barang tambang, yang merupakan benda bernilai ekonomis yang dapat diperjual belkikan, maka Negara berada dalam posisi dan fungsi lain, bukan mengatur tetapi bisa menjadi pemilik.
Namun, dalam prakteknya, UU No.11 tahun 1967, peranan dan fungsi negara sebagai penguasa dan pemilik cukup besar hingga peran serta masyarakat dan koperasi sangat kecil dan terabaikan. Selain itu, dengan peran dan fungsi serta kewenangan yang besar, pada kenyataannya ketika berhadapan dengan kekuatan struktural pengendali modal, Negara dalam posisi yang sangat lemah.
Tiga kasus tersebut mengindikasikan bahwa pentingnya memberikan definisi yang jelas akan kepemilikian mineral. Menurut teori hukum pertambangan, konsep kepemilikan mineral merupakan fondasi yang penting bagi terbentuknya kebijakan pertambangan yang baik di sebuah negara. Konsekuensinya pasal 33 ayat 3 UUD 1945 merupakan tolak ukur atas ketetapan pengaturan dalam UU pertambangan umum.

Konflik Perundang-undangan
Konflik peraturan perundang-undangan antara sektor pertambangan dan sektor lainnya seperti kehutanan, sering kali terjadi pada proses pengusahaan mineral terutama pada masa eksplorasi. Pada masa eksplorasi, kontraktor mieral membutuhkan data cadangan mineral pada sebuah daerah yang akan di kembangkan. Untuk itu, pada daerah tersebut harus dilakukan pengeboran-pengeboran pada titik tertebtu untuk mendapatkan evaluasi kandugnan mineral di dalam tanah.
Namun, sering kali peraturan perundagan di sektor kehutanan melarang melakukan penebangan khususnya pada kawasan hutan lindung dan konservasi untuk kepentingan apapun. Kasus PT Newmont Bengkulu Minerals, PT Gag Nikel Mineral merupakan diantara contoh perusahaan yang sudah mendapatkan hak izin konsesi pengembangan mineral namun tidak dapat melakukan pengembangan karena terhadang oleh larangan pengembangan mineral di kawasan hutan lindung. Pasal 38 UU No.41 tahun 1999 tentang kehutanan melarang dilakukan keiatan pertambangan di kawasan hutan lindung. Padahal 22 Kontrak Karya kegiatan pertambangan yang arealnya di hutan lindung telah dibuat sebelum UU No.41 tahun 1999 diberlakukan.[28]

Nasib Hak Ulayat
UU No.11 tahun 1967 tidak menyentuh pengembangan wilayah dan masyarakat setempat. Seringkali kepentingan penduduk asli setempat terabaikan bahkan dikorbankan. Terutama menyangkut persoalan hak asasi manusia dan lingkungan hidup. Konflik yang terjadi disebabkan antara lain oleh :
1. Penguasaan tanah ulayat masyarakat Hukum adat dengan paksa. Padahal hukum tanah positif (UUPA) mengakui keberadaan hak ulayat pada masyarakat asli, dalam UU No.4 tahun 1976 mengatur tentang pengakuan tanah ulayat tetapi kurang menghargai hak-hak ulayat masyarakat setempat. Bila musawarah tidak tercapai dan masyarakat menolak ganti rugi pembebasan tanah maka Pengadilan Negeri setempat yang memutuskan (Pasal 27 ayat 3). Dalam prakteknya, masyarakat dipaksa untuk mnyerahkan tanahnya dengan dalih untuk kepentingan negara/nasional. Masyarakat dalam posisi yang lemah dalam relasi dengan negara dan terpaksa harus menerima apa yang telah ditetapkan pemerintah.
Pertambangan rakyat (perorangan) yang telah turun menurun (indigenous mining) sering digusur paksa oleh pemerintah dengan dalih merusak lingkungan dan kemudian pemerintah mengambil alih dengan mengusahakan pertambangan besar melalui BUMN maupun Kontrak Karya/PKP2B dengan perusahaan asing.[29]
2. Sebagai akibat pengambilan atas tanah hak ulayat dan penggusuran paksa pertambangan rakyat, maka rakyat tersebut terpinggir dari sumber hidupnya. Selain itu pengusaha pertambangan tidak menggunakan masyarakat setempat untuk tenaga kerja, dengan dalih pendidikan dan pengetahuan yang rendah. Kemudian, pengusaha pertambangan menggunakan tenaga kerja dari luar, akibatnya tingkat ekonomi pendatang dengan masyarakat setempat terjadi ketimpangan yang besar. Selain itu, dalam berbagai situs pertambangan, perumahan karyawan tambang berada di dalam lokasi tambang dan memiliki fasilitas yang sangat baik. Hal itu berbanding terbalik dengan kondisi masyarakat di sekitar pertambangan yang tidak didukung oleh infrastruktur yang baik, karena prioritas utama pengusaha tambang hanya dirinya dan mendapatkan keuntungan maksimum.[30]
3. Akibatnya, kualifikasi ini menimbulkan pengakuan yang lemah atas hukum adat. Sementara dikatakan bahwa hak-hak adat diakui oleh hukum nasional, sedang kenyataannya pengakuan ini hanyalah bersifat simbolis. Padahal dalam Deklarasi Rio pada tahun 1992 dinyatakan bahwa setiap keputusan untuk mengembangkan mineral harus memperhatikan aspek lingkungan. Masyarakat setempat harus di ikut sertakan secara aktif dalam setiap aspek pengambilan keputusan.[31]

Perbandingan Nasib Ulayat di Dunia Internasional.
Beberapa negara memiliki undang-undang khusus yang melindungi hak ulayat. Australia dengan the 1997 Native Title Act, Filipina dengan The 1997 Indigenous People Rights Protection Act, atau Kanada dengan The Indoan Protection Act. Hukum yang berlaku mengakomodasi konvensi internasional terhadap perlindungan penduduk asli. Konvensi ILO nomor 169 tentang perlindungan penduduk asli dan pribumi memberikan hak perlindungan atas hak yang dimiliki penduduk asli dan pribumi untuk hidup dan mengembangkan tanah mereka sesuai dengan kebutuhan mereka sebagai anggota masyarakat. Konvensi mengenai hal ini sudah secara intensif dilakukan dalam rangka melindungi budaya penduduk asli dan pribumi, tanah dan sumber daya yang dimiliki, serta tidak ada perbedaan perlakuan sosial terhadap mereka.[32]
Berikut ini adalah perbandingan status meneral dan hak ulayat yang diatur oleh konstitusi masing-masing negara :
Tabel 3
Perbandingan Status Kepemilikan Sumber Daya Mineral dan Hak Ulayat
Negara
Status Mineral
Status Hak Ulayat
Canada
Milik Negara
Diakui hak ulayat
Australia
Milik Negara
Diakui hak ulayat
Chili
Milik Negara
Diakui hak ulayat
Papua New Guinea
Milik Negara
Diakui hak ulayat
Filipina
Milik Negara
Diakui hak ulayat
Argentina
Milik Negara
Diakui hak ulayat
Indonesia
Dikuasai Negara
Tidak jelas

Pertambangan Tanpa Izin (PETI)
Fenomena PETI muncul sejalan dengan era rofarmasi yang masih berlanjut dengan berbagai krisis ekonomi yang terjadi. Masyarakat lokal yang tertindas dan terpinggirkan bangkit untuk memperjuangkan hak-haknya yang merasa terampas oleh MNCs pertambangan dan Pemerintah pusat. Bukan hanya atas tanah rakyat, tetapi juga hak atas pengelolaan pertambangan yang telah turun temurun diwarisi secara perorangan ataupun keluarga.
Faktor pendorong munculnya PETI dikalangan masyarakat bawah diawali dengan kemiskinan. Baik itu secara ekonomi, kewajaran hidup, modal, pendidikan, pengetahuan, keterampilan, hingga keterpinggirkan secara sosial. Dalam konteks kemiskinan tersebut, muncul para penadah/cukong dengan berbagai kepentingan. Dua kondisi tersebut kemudian menghasilkan kerjasama yang saling menguntungkan antara kedua belah pihak. Bahkan masyarakat lokal merasa tertolong oleh kehadiran penadah tersebut. Hal itu dalam keterkaitannya menyediakan lapangan kerja, permodalan dan tentunya penghasilan.
Pada awalnya PETI hanya dilakukan oleh masyarakat lokal. Namun kemudian muncul pelaku lain dari masyarakat pendatang. Kalau PETI lama tidak menyadari bahwa perilaku PETI adalah ilegal, maka PETI versi baru tahu bahwa perbuatannya adalah melanggar hukum. Namun karena keterpaksaan kondisi hidup membuat mereka ikut terlibat dalam PETI.
Pokok permasalahan sebenarnya adalah adanya ketidak adilan pemerintah dalam mensejahterakan rakyatnya. Keberadaan BUMN maupun MNCs di sektor pertambangan yang mengeruk kekayaan alam secara besar-besaran menimbulkan kesenjangan dan kecemburuan sosial. Hal ini terjadi karena keuntungan ekonomi yang didapat pelaku tambang tidak terbagi secara adil kepada masyarakat lokal.
Perilaku menyimpang dalam bentuk PETI pada dasarnya tidak terlepas dari andil dan kebijakan pemerintah sebagai pemegang amanat pasal 33 UUD 1945. UU No 11 tahun 1967 kurang memperhatikan pengembangan wilayah dan kesejahteraan masyarakat serta peraturan yang kurang berpihak kepada kepentingan masyarakat lokal. Seperti tidak adanya jaminan pertambangan rakyat dapat beroperasi jika perusahaan besar masuk ke dalam wilayah pertambangan rakyat. Selain itu tidak ada kekhususan peruntukan lahan cadangan bagi masyarakat bermodal kecil yang ingin mengusahakan pertambagnan dan pengaturan usaha pertambangan .

Permasalahan Lingkungan
Ketentuan yang berhubungan dengan lingkungan dalam eksplorasi sumber daya mineral Indonesia sangatlah luas. Penambangan diperlukan untuk menggali sebanyak mungkin sumber daya mineral, tetapi dengan dampak kerusakan lingkungan yang sekecil-kecilnya. Meskipun pertambangan modern menjamin kesehatan pegawai maupun masyarakat lokal, namun pernyataan pengaruh lingkungan juga diperlukan untuk menganalisis pengaruh dampak yang potensial.
Peraturan lingkungan yang berlaku adalah pengaruh proses analis lingkungan yang dinyatakan dalam PP No. 51 Tahun 1993. analisis pengaruh lingkungan dalam PP 51 menyajikan prosedur penilaian yang lengkap tentang penilaian lingkungan. Analisa Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagai hasil dari Deptamben diperlukan dalam pembukaan proyek. Perencanaan harus menyajikan analisis pengaruh terhadap lingkungan. Satu term of reference yang diterima, perusahaan harus menyajikan AMDAL dan rencana pengelolaan dan pengendalian lingkungan.

Internasionalisasi Sumber Daya Alam di Indonesia
Aturan yang mengatur tentang izin pertambangan ternyata terbukti merugikan negara sebagai pemilik hak atas sumber daya mineral yang diatur oleh UUD 1945. Kondisi ini disebabkan oleh tidak adanya aturan yang jelas tentang alokasi sumber energi yang dihasilkan. Pasca perang Irak, saat dunia mengalami krisis energi, begitu juga dengan Indonesia, hasil-hasil pertambangan Indonesia terutama sektor energi sebagian besar dibawa keluar negeri. Sementara di Indonesia mengalami krisis energi, apalagi dengan seringnya kebijakan pengurangan subsidi BBM.
Tabel. 4
Derajat Penghisapan Sumber Daya Ekonomi
No.
Propinsi
1996
Yang Dinikmati masyarakat setempat
2002
Yang dinikmati masyarakat setempat
1
Kaltim
89 %
11 %
90 %
10 %
2
Riau
84 %
16 %
76 %
24 %
3
Papua
82 %
18 %
80 %
20 %
4
NAD
81 %
19 %
-
-
5
DKI Jakarta
78 %
22 %
81 %
19 %
Sumber : Ekonomi terjajah, Mubyarto, PUSTEP UGM – 2005
Data yang ada dalam tabel.1 menunjukan tingkat penghisapan sumber daya ekonomi di beberapa provinsi di Indonesia. Provinsi Kalimantan Timur sebagai salah satu provinsi terkaya dan merupakan provinsi dengan pendapatan perkapita terbesar di Indonesia ternyata menjadi provinsi dengan tingkat penghisapan terbesar. Sekitar 90 persen dari sumber daya ekonomi yang dihasilkan Kaltim dibawa keluar, sehingga hanya sepuluh persen yang dinikmati masyarakat setempat.
Tabel. 5
Tingkat Penghisapan di Kalimantan Timur
No
Kabupaten/Kota
Konsumsi /Kapita/ Bulan
Konsumsi /Kapita/ Bulan
PDRB/kapita/Tahun
PDRB/kapita/Tahun
Tingkat Penghisapan
2003
2003
2003
2003
2003
2004
1
Pasir
223.741
223.741
6922.83
6922.83
0.61
0.60
2
Kutai Barat
228.442
228.442
16987.17
16987.17
0.84
0.82
3
Kutai Karten.
243.642
243.642
59274.49
59274.49
0.95
0.94
4
Kutai Timur
275.852
275.852
32784.44
32784.44
0.90
0.88
5
Berau
292.603
292.603
22665.19
22665.19
0.85
0.82
6
Malinau
329.178
329.178
14326.47
14326.47
0.72
0.64
7
Bulungan
247.233
247.233
17441.82
17441.82
0.83
0.85
8
Nunukan
275.767
275.767
7874.43
7874.43
0.58
0.50
9
Panajam P.U
-
271.456
-
6776.56
-
0.52
10
Balikpapan
337.922
470.267
32625.93
33620.19
0.88
0.83
11
Samarinda
299.615
381.337
17454.44
19792.09
0.79
0.77
12
Tarakan
286.364
335.718
13740.62
16321.82
0.75
0.75
13
Bontang
505.592
554.068
261000
272000
0.98
0.98
14
Kaltim
287.805
359.652
37531.85
42234.66
0,91
0.90
Sumber : Makalah Aji Sofyan, Divestasi Saham KPC 2003 (makalah tidak diterbitkan)

Sedangkan dari tabel.2 terdapat tingkat penghisapan per kabupaten/kota yang ada di provinsi Kalimantan Timur. Kabupaten Kutai Timur tempat lokasi PT KPC beroperasi ternyata masuk kedalam urutan ketiga sebagai kabupaten/kota dengan tingkat penghisapan sumber daya ekonomi tertinggi. Selain itu, data yang dihasilkan oleh penelitian LPEM FE UI pada tahun 2002 menunjukan bahwa kontribusi sektor pertambangan di Kutai Timur sebesar 30 persen terhadap PAD. Penyerapan tenaga kerja dan output perekonomian dari PT KPC sebagai multiplier effect hanya sebesar 11,9 dan 1,9 persen.
Tabel.6
Penerimaan Pemerintah dari KPC
Sumber/Tahun
2003
(Juta US$)
2004
(Juta US$)
2005
(Juta US$)
2006
(Juta US$)
2007
(Juta US$)
Pajak-Pajak
51,1
120,2
125,6
165,6
238,7
Sewa Tetap/
Lumpsum
0,2
0,2
0,3
0,3
0,3
Royalti Batu Bara
54,7
90,4
147,0
197,0
210,6
Total
106,0
210,8
272,9
262,9
449,6
Sumber : Makalah Aji Sofyan, Divestasi Saham KPC 2003 (makalah tidak diterbitkan)

Dari tabel diatas penerimaan Pemerintah Bandingkan dengan penerimaan yang didapat oleh Pemerintah Pusat. Sejak tahun 2003 hingga 2007 terdapat peningkatan pemasukan ke kas Pemerintah Pusat sebesar 4 kali lipat. Bahkan untuk jumlah yang diterima oleh Pemerintah Pusat pada tahun 2007 tidak jauh berbeda dari total biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli KPC pada tahun 2003 apabila divestasi KPC berhasil dilaksanakan.
[1] Sajuti Thalib, Hukum Pertambangan Indonesia, (Bandung, Akademi Geologe dan Pertambangan, 1971). Hal 17.
[2] Drs. H. Awang Faroek Ishak, MM., MSi., Memperjuangkan Hak Rakyat Kalimantan Timur, (Jakarta; Forum Indonesia Tumbuh, 2003), hlm
[3] Ibid, hlm
[4] Ibid, hlm
[5] Sajuti Thalib, Op.cit, hal 17.
[6] Pada saat itu masih berlaku Ordonantie 1910 dan 1918.
[7] Ibid. hal 18
[8] Ibid. hal 18
[9] Ibid.
[10]Ibid, hal 19
[11] Ibid
[12] Ibid, hal 21.
[13] http://www.minergynews.com/opinion/sony.shtml, diakses pada Senin 26 Maret 2007 pukul 12:05

[14] Ibid
[15] Ibid
[16] Ibid
[17] Ibid
[18] Ibid
[19] Adam Przeworski, States and Markets, A Primer in Political Economy, (New York, Cambridge University Press, 2003), hal 99
[20] Sonny, Op.cit
[21] Achmad Prijono, The Decade of the Eighties: The Start of Large Scale Coal Development in Indonesia.
dalam Mineral Development in Asia and Pacific, Proceeding of the 2nd Asia Pacific Mining Conference,
editor M. Simatupang dan James F. McDivitt, hal 519. Manila: Asean Mining Federation.
[22] Pendekatan sistem pasar mengacu pada pendekatan ekonomi neoklasik yang pada periode 70 hingga 80-an dimotori oleh tiga Negara penting di dunia, Amerika Serikat (Ronald Reagan), Inggris (Margaret Thatcer) dan Jerman Barat (Helmut Kohl). Bank Dunia dan IMF juga mendukung pendekatan neoklasik, yang kemudian membujuk Indonesia untuk menggunakan kebijakan neoklasik pada periode 80an.
[23] Ibid
[24] Suharna Surapranata, Peningkatan Eksplorasi Sumber Daya Mineral yang Berorientasi Kepada Kepentingan Nasional Serta Pembangunan Daerah Otonom dalam Rangka Mewujudkan Stabilitas Nasional, TASKPA Kursus Singkat Angkatan X Lemhannas R.I., 2002
[25] Surat Ampalit Mas Perdana ke DPR, 2 Oktober 1995
[26] Zat mercury digunakan untuk memisahkan emas dari mineral lainnya.
[27] “Goldminer to quit Indonesian Project” [The Australian Newspaper, 16 April 2001]
[28] Suharna, Op.cit
[29] Ibid
[30] Ibid
[31] Ibid
[32] Ibid