Saturday, February 2, 2008

Interaksi Politik Elit Lokal, Nasional dan MNC

Interaksi Politik Elit Lokal, Nasional dan MNC
dalam Proses Divestasi PT Kaltim Prima Coal 2000-2007
Fauzan Zidni

Interaksi politik yang terjadi antara elit lokal, elit nasional dan Multinational Corporation dalam proses divestasi PT Kaltim Prima Coal, MNC pertambangan batu bara terbesar di Indonesia yang berlokasi di Sangatta, Kalimantan Timur, sejak tahun 2000 hingga 2007 menunjukan bentuk interaksi yang tidak pernah terjadi pada masa Orde Baru. Jika pada masa Orde Baru kebijakan mengenai pertambangan hanya di monopoli oleh Pemerintah Pusat dan tidak mementingkan aspirasi pemerintah daerah. Maka pola interaksi yang terjadi pada era reformasi menunjukan kebangkitan kekuatan politik di tingkat lokal yang menginginkan haknya.
Hal ini disebabkan oleh terjadinya proses desentralisasi dan demokratisasi yang sedang berlangsung di Indonesia. Selain berkembangnya tuntutan terhadap kebijakan ekonomi, di bidang politik tutututan perubahan tidak hanya mencakup penataan wewenang antar lembaga di tingkat pusat, tetapi juga pembagian wewenang antara pusat dan daerah. Tuntutan tersebut memberikan dampak yang signifikan kepada sistem politik Indonesia. Perubahan sistem politik ini berakibat munculnya dua perubahan mendasar, yaitu menguatnya kewenangan daerah karena desentralisasi dan iklim politik yang lebih demokratis.
Dampak dari kebijakan desentralisasi tersebut tidak hanya membuat melemahnya otoritas Pemerintah Pusat, tetapi juga membuat menguatnya kewenangan pemerintah daerah. Dengan menguatnya posisi pemerintah daerah, Pemerintah Pusat dalam kasus ini diwakili oleh Purnomo Yusgiantoro, Menteri ESDM, harus bernegosiasi dan mengakomodasi kepentingan dari elit lokal. Situasi ini menurut Migdal merupakan situasi pemerintah yang lemah.[1] Konflik yang terjadi dalam proses divestasi KPC dapat dimasukan kedalam konteks runtuhnya struktur lama dari ekonomi politik Indonesia. Dalam hal ini, Robison dan Hadiz berargumen :
“The fall of Soeharto opens the door to a fresh round of struggles to reshape and to redifine economics and politics.[2] It does open the door for a fresh round of struggle that mainoly involved the players incubated in the New Order days, who are oligarchs.[3] They futhermore, admit that such struggle took place at the regency level in which local politicians have come to develop political capability and were tryung to shape politics and economics in their locality[4].”

Adanya pola baru dalam interaksi politik antar berbagai aktor di Indonesia yang terjadi dalam kasus divestasi KPC merupakan kajian yang belum banyak dikaji. Jika sebelumnya pola yang berlangsung adalah pola patrimonial yang ditandai hubungan aliansi kepentingan politik antara Soeharto dan Gubernur di daerah. Pola patrimonial ini disebabkan adanya kontrol subsidi anggaran belanja daerah yang ditentukan secara sentralistis dan ketergantungan elit lokal terhadap Soeharto atas karier politik mereka lewat militer dan Golkar. Sejalan dengan kebijakan desentalisasi terjadi pula perubahan distribusi kewenangan antara pemerintah pusat, gubernur, walikota/bupati dan DPRD. Demikian juga dalam sistem pemilihan kepala daerah, jika sebelumnya gubernur, bupati/walikota dipilih oleh DPRD kemudian berubah ke proses pemilihan secara langsung.
Aliansi politik yang diciptakan oleh Soeharto kemudian menghilang dan digantikan oleh diversivikasi jaringan politik berdasarkan partai politik.[5] Selain itu perubahan distribusi kewenangan menyebabkan perubahan pola interaksi antar aktor baik itu antara pusat dan daerah, maupun dengan MNC. Gubernur Kalimantan Timur, Suwarna Abdul Fatah, misalnya berupaya membangun aliansi politik antara sesama elit lokal dan elit nasional dari unsur DPR, Menko Perekonomian dan Menneg BUMN dalam perjuangannya membeli divestasi saham KPC. Aliansi politik yang dibangun oleh elit pada tataran provinsi menghadapi MNC dan Pemerintah Pusat tidak pernah terjadi dalam sejarah Orde Baru.
Begitu juga yang terjadi dalam interaksi yang terjadi antara modal dengan pemerintah. Jika pada masa Orde Baru usaha-usaha yang dilakukan oleh pengusaha dalam mempengaruhi kebijakan politik dilakukan dengan membentuk organisasi korporatis (KADIN, dll) dan memanfaatkan hubungan personal dengan Soeharto, maka pasca runtuhnya Orde Baru kekuatan struktural pengendali modal mampu mempengaruhi kebijakan politik suatu pemerintahan. Apabila pada masa Orde Baru pemilik modal tidak melakukan intervensi langsung pada proses pembuatan kebijakan yang disebabkan oleh begitu berkuasanya Soeharto, maka periode pasca Orde Baru terutama dalam kasus divestasi KPC secara jelas memperlihatkan kehadiran pemilik modal dalam kontestasi politik. Sehingga memperlihatkan posisi yang saling berhadapan antara elit ditingkat nasional dengan tingkat lokal. Selain itu, pemilik modal ternyata tidak hanya mencoba mendekati pemerintah pusat, tetapi juga pemerintah daerah. Dalam kasus ini juga berhasil membangun aliansi dengan pengusaha sebagai sumber pendanaan.
Namun begitu, aliansi politik yang dibangun oleh Suwarna harus berhadapan dengan kebijakan yang ditentukan oleh Pemerintah Pusat dan secara langsung lebih menguntungkan investor asing.[6] Dalam kasus ini, KPC berhasil meyakinkan Menteri ESDM agar lebih berpihak membela kepentingan KPC. Sehingga meskipun pemerintah daerah mengalami penguatan kewenangan dan memiliki aliansi di tingkat lokal serta nasional, namun usaha-usaha yang dilakukan selalu berujung pada kegagalan. Ini disebabkan oleh ketidakberpihakan penentu kebijakan kepada pemerintah daerah.
Pola hubungan antara bisnis dan politik yang ada di Indonesia pada masa Orde baru telah dijelaskan oleh beberapa ilmuan dalam berbagai karya mereka. Benedict Anderson misalnya berpendapat bahwa pada era Orde Baru, hubungan bisnis dan politik lebih banyak difokuskan pada negara. Anderson berargumen bahwa ada disfungsi antara kepentingan masyarakat dan negara. Dia menggambarkan negara sebagai entitas yang dapat melayani dirinya sendiri, mengikuti keinginan dirinya sendiri ketimbang kepentingan yang lain dalam masyarakat. Orde Baru dianggap sebagai konsumen sumber daya dan pendapatan minyak. Walaupun negara berada dalam tangan militer, kebijakan adalah refleksi kepentingan negara, ketimbang kelas diluar negara atau kelompok lainnya, dengan pengecualian terhadap modal asing. Dapat diinterpretasikan bahwa sebagai respons kepada pandangan instrumentalis marxis yaitu negara sebagai alat kelas kapitalis.[7]
Kemudian Andrew Mc Intyre juga mencoba menjelaskan mengenai bureaucratic polity dan kelompok patrimonial. Esensi dari patrimonial adalah kepala negara mengoperasikan sikap perbandingan kepada pemimpin tradisional untuk menyiapkan dispensasi hadiah materiil dan kesempatan untuk memimpin anggota elit. Elit dibagi dua yaitu klik musuh yang memperjuangkan patronase dan pemimpin yang lebih luas. Sedangkan model patrimonial menekankan jaringan pyramid hubungan patron-client, karakteristiknya hubungan personal antara individual yang berbeda status, dengan klien yang dependen dengan bantuan patron dalam pengaruh posisinya. Dalam model ini dapat dikaraktersitikkan bahwa politik tidak lagi berbicara konflik isu kebijakan yang substantive, tetapi kompetisi atas hadiah materiil dan jabatan. sedangkan dalam pengertian model patrimonial Riggs “Bureaucratic Polity” adalah elit birokrasi terpisahkan dari kepentingan masyarakat dalam determinasi kebijakan.[8]
Ilmuan lain seperti Jhon Sidet mencoba menjelaskan gejala baru yang ada pasca runtuhnya Orde baru dengan munculnya borjuisme lokal. Kemunculan borjuisme lokal sendiri tidak dapat dilepaskan dari adanya desentralisasi yang melimpahkan wewenang kekuasaan pada elit lokal. Selain itu desentralisasi juga menimbulkan devolusi kekuasaan atas dispensasi sumber-sumber daya negara serta pemberlakuan dan pelaksanaan peraturan-peraturan negara. Secara keseluruhan kekuasaan telah berpindah “ke bawah” dan “keluar” dari birokrasi yang sangat terpusat dan berakar sangat kuat di Jakarta kepada DPRD dan pemerintah daerah di seluruh Indonesia. Borjuisme lokal sendiri berarti adanya kekuasaan lokal yang besar yang dikuasai oleh kelompok elit dalam masyarakat lokal yang dihubungkan dengan penguasaan terhadap akses ekonomi dan politik yang terlihat dari adanya jaringan baru antara pengusaha dan elit lokal.[9]
Konsep borjuisme lokal yang diajukan oleh Sidet ternyata dapat terlihat jelas dalam proses divestasi KPC ini. Pemprov Kalimantan Timur dalam usahanya membeli divestasi saham KPC merangkul David Salim yang memiliki kekuatan sumber pendanaan yang dibutuhkan, meskipun peran David Salim tidak banyak terkuak dalam berbagai interaksi politik yang terjadi antara elit lokal, elit nasional dan MNC yang terjadi.
Usaha yang dilakukan elit lokal dari Provinsi Kalimantan Timur dan Kabupaten Kutai Timur dalam menuntut pembelian divestasi saham KPC sejak tahun 2000 hingga 2007 merupakan reaksi atas regulasi dalam sektor pertambangan yang selama ini bersifat sangat sentralistik.[10] Kebijakan mengenai pertambangan sepenuhnya diatur oleh birokrasi ditingkat pusat. Selain itu, selama masa Orde Baru di mata elit pemerintah daerah dan elit lokal Kalimantan Timur sistem bagi hasil yang ada dinilai tidak adil. Sebagai salah satu provinsi terkaya di Indonesia, hasil kekayaan yang dinikmati oleh masyarakat di Kaltim hanya sebesar 10 persen. Sisanya dinikmati oleh Pemerintah Pusat maupun MNC. Sehingga ketika ada kesempatan untuk menguasai kepemilikan pertambangan lewat proses kewajiban divestasi yang diatur dalam Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Penambangan Batubara (PKP2B) maka berbagai cara dilakukan oleh elit lokal, baik melaui proses negosiasi maupun proses politik. Ini dikarenakan kepemilikan terhadap saham KPC merupakan langkah yang sangat signifikan untuk memperbaiki perekonomian di Kalimantan Timur
Namun ketika lahir kebijakan divestasi saham KPC oleh Pemerintah Pusat, elit Kaltim terpaksa melalui proses politik yang berkepanjangan dan penuh polemik. Hal ini bukan hanya dikarenakan relasi kekuasaan yang terjadi antara elit lokal dan elit nasional yang memiliki kepentingan ekonomi politik masing-masing, tetapi juga keterlibatan kekuatan struktural pengendali modal yang memiliki kepentingan tersendiri atas sumber daya ekonomi yang selama ini dikuasainya. Padahal bagi daerah yang kaya sumber daya alam pertambangan seperti Kalimantan Timur kepemilikan terhadap sumber pertambangan selain untuk kepentingan pragmatis ekonomi yang cukup besar, juga penting untuk pengendalian terhadap berbagai masalah yang ditimbulkan oleh keberadaan situs pertambangan terhadap lingkungan dan masyarakat.
Proses divestasi tambang batu bara terbesar di Indonesia ini dimulai pada tahun 1998, setelah dua tahun Pemerintah Pusat mengabulkan permohonan penundaan kewajiban yang diajukan oleh KPC. Terdapat beberapa peminat dari BUMN seperti PT Timah, PT Bukit Asam dan PT Aneka Tambang yang ingin membeli KPC. PT Timah sebagai pihak yang ditunjuk pemerintah untuk membeli 23 persen saham KPC sempat melakukan proses divestasi hingga pada tahapan due diligence, namun akhirnya usaha tersebut kandas akibat alasan tidak ada sumber pendanaan untuk membeli KPC. Kehadiran reformasi dan adanya dasar hukum yang jelas kemudian memberi kesempatan kepada daerah untuk memiliki dan menambah aset kepemilikan ekonomi. Pada tanggal 1 Maret 2000, Pemprov mengajukan penawaran terhadap 30 persen saham KPC yang akan di divestasi senilai 175 juta dollar AS. Selain itu, Pemprov juga mempertanyakan jumlah saham yang seharusnya ditawarkan KPC karena tidak sesuai dengan PKP2B. Kepemilikan KPC oleh Pemda merupakan langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lewat penambahan PAD dari dividen saham kepemilikan.Untuk membeli KPC, Pemda Kaltim menggandeng pihak ketiga sebagai sumber pendanaan yaitu PT Intan yang dimiliki oleh David Salim.
Namun, di tengah langkah pemerintah daerah yang ingin membeli divestasi saham KPC, terdapat penolakan dari elit nasional yang lebih berpihak kepada KPC. Kewenangan Pemerintah Pusat yang dalam permasalahan ini diwakili oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Purnomo Yusgiantoro. Tetapi, keberadaan Purnomo ternyata lebih menguntungkan pihak KPC daripada Pemprov. Hal itu terjadi karena manuver-manuver yang dilakukan Purnomo dinilai merugikan Pemda. Purnomo mengulur-ulur proses divestasi dan mempertanyakan sumber pendanaan Pemprov Kaltim. Begitu juga yang dilakukan oleh KPC dengan mempersoalkan berbagai hal yang ada di PKP2B.
Negosiasi yang tidak membuahkan hasil, akhirnya membuat tarik ulur kepentingan antara KPC, elit lokal, dan elit nasional akhirnya berujung di pengadilan. Pemprov Kaltim selain mengajukan gugatan perdata kepada KPC, pemegang saham, anggota direksi dan penasehat hukum KPC di PN Jakarta pada 17 Juli 2001. Pemprov Kaltim juga melakukan gugatan terhadap Menteri ESDM melalui PTUN Jakarta.
Selain menempuh jalur hukum, Pemprov juga menempuh jalur politik dengan membawa masalah ini ke DPR RI dan menggalang dukungan dari seluruh elemen di tingkat lokal. Upaya melalui jalur politik ini cukup berhasil dilakukan oleh Gubernur Suwarna, terbukti DPR kemudian mendesak Pemerintah untuk memerintahkan KPC untuk menawarkan 51 persen saham KPC sebelum 31 Juli 2002. Dalam rapat kabinet terbatas pada 30 Juli 2002, pemerintah pusat kemudian memutuskan pembagian 51 persen saham KPC. Sebesar 20 persen untuk pemerintah pusat dan sisanya untuk pemerintah Kalimantan Timur.
Keputusan rapat kabinet yang memecah saham KPC menjadi aneh karena sebelumnya Menteri Keuangan telah menyatakan Pemerintah Pusat tidak berminat melakukan pembelian divestasi saham KPC. Keesokan harinya KPC melakukan penawaran saham sesuai yang diputuskan oleh pemerintah. Melihat kenyataan saham KPC dipecah lewat keputusan sidang kabinet dan penawaran KPC, Pemprov melobi Laksamana Sukardi, Menteri Negara BUMN, untuk membuat satu kesatuan saham di bawah satu konsorsium yang diberi nama konsorsium merah putih agar kepentingan nasional dapat lebih terjaga ketika menguasai saham KPC secara mayoritas. Lobi yang dilakukan dengan Laksamana kemudian berhasil dilakukan oleh elit lokal. Ini disebabkan selain untuk menjaga kepentingan nasional juga karena PT BA tidak memiliki pendanaan yang cukup untuk membeli KPC.
Menanggapi keberhasilan dibentuknya konsorsium merah putih, Purnomo kemudian secara diam-diam menandatangani Framework Agreement (FA) pada September 2002 dengan KPC. FA berisikan keharusan pembeli divestasi memecah kepemilikan saham menjadi dua bagian. Sehingga pemilik saham terbanyak tetaplah Rio Tinto dan BP. Pada Desember 2002 BUMD milik Pemprov Kaltim, PD MBS dan BUMD milik Pemkab Kutai Timur PD Pertambangan dan Energi meminta FA tersebut dibatalkan melalui PN Samarinda. PN Samarinda kemudian memutuskan pembatalan FA karena mengandung kausa yang tidak halal/terlarang sehingga menjadi batal demi hukum. Hal ini tentunya membuat Purnomo berang. Kemudian Purnomo mengirim surat protes ke PN Samarinda, begitu juga dengan KPC. Hal ini menjadi menarik karena KPC dan Purnomo sepertinya berada pada posisi yang sama dalam menghadapi Pemprov Kaltim dan Pemkab Kutim.
Permasalahan semakin menarik ketika proses tersebut sedang berlangsung, Bumi Resorces membeli KPC dengan melakukan Sales and Purchase Agreement Kalimantan Coal Limited dan Sanggata Holding Ltd. Keduanya adalah induk perusahaan KPC milik Rio Tinto dan BP. Pasca BR menguasai KPC, dilakukan “divestasi” yang aneh kepada Pemkab Kutai Timur dan Sitrade Nusa Globus. Divestasi ini dinilai aneh karena terdapat transaksi yang janggal dan pengalihan saham kembali kepada BR setelah melakukan divestasi.
Konflik yang berkepanjangan ini menjadi lebih rumit ketika terjadi pergantian rezim. Aburizal Bakrie yang merupakan pemilik saham mayoritas di Bumi Resources diangkat menjadi Menko Perekonomian. Beberapa hari setelah dilantik menjadi Menko, ia membatalkan keputusan sidang kabinet tentang rencana pembelian saham KPC antara pemda dan pemerintah pusat untuk membeli divestasi KPC. Ini berarti, telah terjadi konflik kepentingan pribadi Aburizal sebagai Menko yang menguntungkan dirinya sendiri. Selain itu, posisi Aburizal yang kuat secara politis dalam menentukan kebijakan ditingkat pusat juga didukung oleh “dimensi struktural kekuatan para investor” sehingga langkah Pemda dalam menguasai KPC semakin sulit.
Setelah tujuh tahun lamanya, kasus divestasi KPC ini kemudian tidak mengalami perubahan yang berarti. Sehingga, pada awal 2007 pemerintah daerah Kaltim membawa masalah ini ke arbitrase internasional. Peristiwa ini kemudian dapat dilihat sebagai sesuatu yang baru lagi. UU Otda mengatur pemberian kewenangan Pemda kecuali di bidang pertahanan, agama, moneter, dan hubungan luar negeri. Arbiterase Internasional adalah salah satu pengadilan internasional yang merepresentasikan pemerintah pusat. Sedangkan kehadiran Pemda dalam kasus ini adalah sesuatu yang baru. Hal ini juga bisa menjadi yurisprudensi bagi Pemda lain untuk membawa kasus ke arbitrase internasional. Padahal dalam PKP2B yang menandatangani kontrak dengan KPC adalah Pemerintah Pusat.
Usaha yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kaltim dan Kutim untuk membeli divestasi saham KPC adalah suatu hal yang menarik dalam konteks otonomi daerah. Dilihat dari aspek ekonomi politik maka upaya Pemda untuk mencari sumber pembiayaan bagi Pendapatan Asli Daerah, tuntutan divestasi bagi MNC yang bergerak di sektor pertambangan dan cara masing-masing elit dan aktor untuk mencapai tujuannya dalam proses tersebut akan menghasilkan pola interaksi yang menarik untuk dikaji. Bagi elit politik sebagai entitas entitas yang paling dominan dalam menentukan arah kebijakan pemerintah daerah biasanya bertindak berdasarkan kepentingannya masing-masing. Sehingga, semakin banyak dan beragam elit lokal yang terlibat dalam percaturan politik dan bisnis untuk memperebutkan suatu sumber daya, akan semakin dinamis pula interaksi politik yang terjadi dalam perebutan sumber daya tersebut.
Sementara bagi MNC sebagai aktor ekonomi politik yang pada era globalisasi telah mengalami peningkatan jumlah dan perkembangan kekuasaan juga memiliki kepentingan lain.[1] Besarnya investasi yang dikeluarkan untuk membuka situs pertambangan serta teknologi yang dikembangkan sendiri menjadikan kepemilikan terhadap unit usaha yang menguntungkan akan tetap dipertahankan.
Interaksi yang terjadi dalam proses usaha pembelian divestasi KPC oleh elit politik lokal dan nasional adalah sesuatu yang bernilai politis. Hal ini disebabkan oleh interaksi yang dilakukan keduanya, baik ketika menggunakan instrumen pengadilan maupun ketika menggunakan jalur negosiasi, merupakan kajian baru dalam studi politik lokal di Indonesia. Keterlibatan pengendali modal dalam mempengaruhi kebijakan politik pemerintah juga merupakan suatu hal penting dalam menganalisa kasus ini. Dalam kasus KPC, paling tidak terdapat dua periode keterlibatan kekuatan pengendali modal. Pertama ketika kepemilikan masih berada di tangan Rio Tinto dan BP. Kedua, ketika kepemilikan berpindah ke Aburizal Bakrie yang kemudian juga menjadi elemen penting dalam pemerintahan di tingkat pusat.
[1] William Robinson, A Theory of Global Capitalism, (The Johns Hopkins University Press: Baltimore and London, 2004) hal xiv

[1] Migdal berargumen bahwa the weak state terjadi ketika elit lokal menguat dan mampu menguasai agen-agen dan sumberdaya yang dimiliki pemerintah pusat. Pembatasan otonomi dan kapasitas pemerintah pusat menyebabkan posisinya menjadi lemah. Lihat Joel Migdal, Strong States, Weak States : Power and Accommodation. In Understanding Political Development, (Illinois: Waveland Press, 1988) hal 9
[2] Robison dan Hadiz, Reorganising Power in Indonesia : The Politics of Oligharchy in an Age of Markets. (London dan New York, Routledge Curzon, 2004) hal 27
[3] Ibid hal 40-66
[4] Ibid hal 245-247
[5] Wahyu Prasetyawan “Government and Multinationals: Conflict over Economic Resources in East Kalimantan 1998-2003”, Jurnal Southeast Asian Studies, Vol. 43, No. 2, September 2005
[6] Wahyu, Op.cit
[7] Andrew Mc Intyre, Business and Politics in Indonesia, (Australia: Allen & Unwin, 1992) hal 7
[8] Ibid hal 8
[9] Jhon T. Sidel, Bosisme dan Demokrasi di Filipina, Thailand dan Indonesia dalam Jhon Hariss, dkk, Politisasi Demokrasi: Politik Lokal Baru (Jakarta: Demos, 2005), hal 95
[10] Lihat UU No.11 Tahun 1967 Tentang Pokok-Pokok Pertambangan

3 comments:

isnan said...

artikel yang menggugah, saya pakai sebagai referensi untuk konflik hubungan antara pusat dan borjuis lokal, ada sedikit masukan untuk menterjemahkan artikel asing mohon diteliti lagi, saya kutip dari dictionary dot com bahwa spoils adalah sebagai berikut:

# spoils

1. Goods or property seized from a victim after a conflict, especially after a military victory.
2. Incidental benefits reaped by a winner, especially political patronage enjoyed by a successful party or candidate.

mudah-mudahan bermanfaat.

Fauzan Zidni said...

terimakasih mas isnan, semoga bermanfaat. masalah menterjemahkan artikel asing, mohon maaf, waktu itu dibuat terburu2... maklum dikejar deadline harus lulus segera...

tapi yg spoils itu terjemahan yang mana ya? mungkin saya bisa koreksi lagi...

Anonymous said...

Dalam model ini dapat dikaraktersitikkan bahwa politik tidak lagi berbicara konflik isu kebijakan yang substantive, tetapi kompetisi atas hadiah materiil dan jabatan

Kalau tidak salah ini diambil dari Business and Politics in Indonesia Intyre (1990:7)yang aslinya , " ...is the notion that politics is characterised, not by conflict over substantive policy issues, but competition over material rewards and spoils."