Thursday, June 19, 2008

Selamat dan Sukses...

Alhamdulillah, MPP 2006-2008 sudah menyelesaikan masa studinya, dan menghasilkan 4 orang bergelar MPP dari Indonesia yang akan lebih bersemangat dalam menyebarkan manfaat untuk masa depan Indonesia yang lebih baik.

Ahmad Hanafi Rais, S.Sos, MPP

Bachtiar Firdaus, S.T, MPP

Prelia Handarani Munandar, S.Sos, MPP

Mardiah Hayati, MPP

Selamat untuk para senior kami, ditunggu kontribusi luar biasanya...

Saturday, May 3, 2008

Hari Buruh, Domestic Worker dan Sedikit Maknanya….

Apa maknanya MayDay, selain usaha peringatan dari, untuk dan oleh buruh sedunia? Bagi sebagian besar TKI kita mungkin tidak ada dan memang tidak ada. Diambil dari hari kelahiran Karl Marx pada 1 Mei 1818, memang ditujukan untuk membangun kesadaran semua pihak atas nasib dan hak-hak kaum buruh sedunia. Marx sendiri melandasi pemikirannya untuk pembebasan kaum buruh dari penindasan para pemilik modal. Tapi kenyataanya, bagi sebagian besar saudari2 kita di singapore, mungkin tidak ada...


Baru-baru ini saya menyelesaikan pendidikan singkat tentang konseling dan advokasi untuk buruh migrant yang berada di Singapore oleh sebuah NGO, TWC2, dengan spesifikasi buruh migrant, spesifiknya pembantu rumah tangga dari Indonesia dan Filipina serta buruh Bangladesh/India. kemudian setelahnya akan ada hotline yang akan disambungkan ke telpon saya terkait dengan permasalahan yang mereka hadapi. Mulai dari pemutusan kerja sepihak, tidak digaji, penganiayaan, dan beragam ketidak adilan lainnya. TWC2, kemudian akan membantu semampunya untuk menyelesaikan permasalahan yang ada.

Saya ingin memfokuskan pembahasan kepada satu kelompok buruh yang merupakan saudari2 kita setanah air, domestic worker atau lebih sering disebut TKI/TKW, dan buat anak2 gaul Jakarta sering disebut pembokat. Lebih spesifik lagi, saya hanya akan membahas domestic worker yang ada di Singapore.

Pertama, berbeda dengan permasalahan yang dialami oleh TKI di Malaysia, disini aturan dan aparatur lebih jelas, tapi tetap saja, para domestic worker merupakan kelas yang paling terbawah dalam urusan kompensasi. Dengan tidak adanya peraturan mengenai upah minimum di Singapore, seorang TKW hanya mendapatkan rata2 SGD 300 perbulan. Lalu dengan peraturan yang ada, seorang majikan harus pula membayar jumlah yang sama sebagai pungutan yang di ambil pemerintah. Sang majikan pun diharuskan mendeposit SGD 5000, sebelum merekrut seorang TKW. Yang apabila terjadi sesuatu terhadapnya, maka uang itu akan diambil oleh pemerintah. Ini yang jelas2 dinamakan sambil berenang minum air. Dibalik penderitaan TKW, pemerintah singapore semakin berelimpangan uang. Tentu saja, hak2 para saudari kita diperhatikan, lebih baik dari pada yang terjadi di negara lain menurut saya, tapi bagi pemerintah singapore, lebih baik memperhatikan hak2 penduduknya dibandingkan hak2 orang asing, tentu saja...

Kedua, buat mereka, May Day akhirnya tidak ada maknanya. Libur 1 hari, perayaan yang ada ditengah nestapa mereka hanya mendapatkan one day off, sehari sebulan saja, dan itu bisa dikompensasi dalam bentuk uang oleh para majikannya. Kemudian, puluhan ribu TKW Indonesia tentunya memegang bagian terpenting dari kelas ini. Mayoritas bekerja tanpa henti, 24 jam sehari, 7 hari seminggu, 52 minggu setahun, dipekerjakan di lebih dari 1 rumah, dan tanpa libur. Lalu, 1 hari libur di May Day? Ah, itu hanya omong kosong! Yang senang tentunya para majikan, mereka asik menikmati liburan yang mengatasnakaman hari buruh. Sedangkan para buruh, terus bekerja…

Ketiga, dengan rendahnya kompensasi dan terbatasnya hari libur maka menghasilkan output kesetressan yang sangat tinggi. Mengutip tulisan seorang teman, “Dalam 6 tahun, ada 147 kasus kematian tidak wajar –bahasa kerennya “death in the workplace”. Cara umumnya adalah loncat dari tempat kerja yang bertingkat-tingkat itu –rumah susun. Mungkin dalam bayangan mereka itulah kebebasan, daripada mati pelan-pelan karena tekanan batin. Kira-kira 20++ kematian per tahun! Bisa dibayangkan level tekanan yang mereka alami.

Sebenarnya masih banyak polemik yang ada dalam permasalahan domestic worker, terutama para TKW disini. Terlalu banyak bahkan… dan kita Cuma bisa menguraikannya satu persatu… cuma bisa menguraikannya tidak menyelesaikannya, karena lebih banyak yang tidak peduli…


foto saudari2 kita yang sedang menikmati one day off,
labrador park, diadakan oleh mujahidah learning center.


Saturday, April 26, 2008

hidayat dan tsing hua

Hidayat (lebih dikenal sebagai matnur), salah satu rekan kami akan mengikuti program pertukaran mahasiswa ke School of Public Policy and Management, Tsinghua University, Beijing smester depan....

Selamat dan Semoga Sukses.

bung karno dan istananya...


akhir2 ini saya tergelitik membaca berita di kompas mengenai istana bung karno di blitar yang akan dijual oleh ahli warisnya. terutama statement2 yang dikeluarkan oleh menteri kita tercinta pak Adhyaksa dault...

Menurut Adhyaksa di Kompas.com, sebagai anak bangsa, apalagi tahun ini 100 tahun Hari Kebangkitan Nasional, adalah memalukan apabila masalah Istana Gebang ini tak bisa dicarikan solusinya. Dan merasa terhina jika aset sejarah bangsa ini jatuh ke pihak swasta, apalagi pihak asing. Jika memang pihak ahli waris ingin menjual, maka Menegpora akan melaporkan kepada Presiden dan minta arahan beliau, apa bisa hal ini ditangani pemerintah.

"Jika tidak, saya akan minta izin Presiden untuk menggelar malam amal guna menggalang dana. Istana Gebang akan kita beli dan kemudian diserahkan kepada pemerintah untuk mengelolanya, demi kepentingan sejarah buat anak-cucu," tandas Adhyaksa.

membaca hal ini tentu saja hati saya tergelitik. sebegitukah nilai rumah masa kecil bung karno, sehingga kita merasa terhina ketika ada swasta atau orang malaysia yang ingin membelinya? mengingat nilai yang ditawarkan cucu bung karno untuk harga rumah seluas 1.4 ha ini cukup besar yakni Rp 50M. dikabarkan pula pak wali kota blitar siap membeli rumah tersebut apabila harganya sesuai dengan NJOP, yakni 15-20 M dengan dana APBD.

pak pejabat yang terhormat, apakah benar uang itu lebih bermanfaat untuk membeli rumah masa kecil bung karno? dibandingkan dengan meningkatkan mutu pendidikan di kota blitar? atau membiayai RSUD yang sudah sekarat? atau menyalurkannya untuk peningkatan ekonomi warga Blitar?

masalah lainnya, kita tidak pernah terhina ketika ada ibu2 hamil mati kelaparan, orang2 dipedesaan makin nasi aking, petani masih saja miskin, nelayan tidak bisa melau krn tak sanggup beli bensin,para guru dan murid bersekongkol berbagi jawaban ujian nasional, politisi berbondong2 masuk bui...

entahlah, klo di film2 horor, bung karno setelah mengetahui hal ini pasti bangkit dari kuburnya...

Wednesday, April 9, 2008

debat dan berdebat...

hari ini saya cukup bisa merasakan kemewahan yg jrg dinikmati... menonton TV Indonesia. kebetulan tadi di metro TV ada siaran langsung debat calon gubernur jawa barat...
krn 4 bulan terakhir ini sangat gencar mengikuti prosesi pilpres di amerika, maka ekspektasi saya secara jelas terlalu berlebihan menyamakan debat capres partai demokrat antara obama dan hillary dengan debat dan berdebatnya agum-danny-herriawan... dimulai dari mengawang2nya program2 kerja yang ingin mereka laksanakan dan tidak jelasnya langkah2 yg mereka tawarkan sebagai solusi, keberadaan tim huray dan persoalan diferensiasi diantara kandidat perihal personal maupun kebijakan.

Thursday, April 3, 2008

Production Sharing, Industrial Adjustments and Wage: an Indonesian Case

Imelda Maidir

executive summary

Indonesia provides a stark example that the social outcomes of the adjustment process attendant to increased economic integration and globalization leave much to be desired. On the one hand, Indonesia appears to have been a spectacular success in terms of the dramatic shift in the structure of its exports with probably the East Asian country currently most dependent on technology intensive products, primarily semiconductors. On the other hand, the country’s manufacturing sector has in fact failed to generate employment and growth for the whole economy, with one of the lowest shares of manufacturing to total employment and output in the region. Indeed, the share of manufacturing to total employment declined in the 1990s at the same time that the share of manufactured products dominated Indonesian exports. This explains in part the failure of Indonesia to have a large decline in poverty incidence, considering that the manufacturing sector tends to provide more remunerative wages than the informal sector in the services industry, especially retailing, where a substantial increase in employment occurred.

In short, ensuring smooth industrial adjustment and at the same time engendering favorable social outcomes is clearly not an easy task; indeed, this invariably involves active engagement of the stakeholders in the labor market; i.e., labor, management and the government, in terms of refining the regulatory environment in the workplace, improvement in the investment climate and economic governance, and stronger cooperative mechanisms between labor and management toward productivity improvement and productivity sharing. Moreover, ensuring inclusive growth in the face of relentless competition domestically and abroad may necessitate affirmative government interventions in order for the less endowed to be able to reap the benefits of globalization and growth.

This study, in particular, addresses the impact of greater economic integration and market competition that increase the pressures for industrial upgrading to wage. It poses the following questions: First, what lessons can be learned for the design of policies for furthering increased worker welfare from the experiences of industry adjustment and firm adjustment in Indonesia. Second, how the industrial relations environment and labor laws and institutions can be improved in order to have smoother industrial adjustment and upgrading process while at the same time facilitating increase in workers welfare. Lastly, what overall trade and development strategies contribute well to increase in wages consistent with the rise in labor productivity.

There has been a growing debate regarding the extent to which workers have benefited from recent trends in the global economy. Although increased globalization in the form of production sharing and foreign direct investment, global sourcing activities of MNCs, has led to strong output growth in some economies, the extent to which these gains have been passed on to workers in the form of improved wages and earnings is questionable; rather globalization has been blamed for the deteriorating position of low-skilled workers globally.

Given the contending views, the impact of export-oriented MNCs, as a reliable measure of production sharing, on real wages in developing countries manufacturing remains very much an empirical issue. However, one threat to validity in establishing empirical regression model is misspecification model, owing to omitted of irrelevant variables to explain the relationship of the phenomenon. Literature review can be done to summarize the contending theory around the explanatory variable that associated with the phenomenon. Nevertheless, there remains subjectivity in the reviewing the literature (Stanley, 1989). Besides, through literature review we might find difficulty in understanding the magnitude of a certain relation.

Through meta-regression analysis we attempt to estimate the empirical magnitude of the association between the global sourcing of MNCs and wage in a more objective and structural way to complement our literature review in determining the explanatory variable that associate with the phenomenon of interest. Empirical results on the impact of the export-oriented MNCs on wage in several researches were varied. The source of the variations could be the choice of measurements, study design, characteristics of the sample or number of observation. Through meta-analysis, we attempt to identify the source of variation and its impact on the regression model. These results, however, solely develop support for hypothesis that merit further testing. Therefore, it is necessary to conduct an econometrics analysis to ensure the robustness of the results. The methodology is to estimate a fully specified inter-industry wage growth regression which incorporates foreign ownership with separately export orientation.

There is a potential endogeneity problem in estimating equation, with exporting history (EXPORTt-1) being the endogenous variable. EXPORTt-1 is likely endogenous because there is strong persistence in the variable correlates with εit. Previous studies (e.g. Roberts and Tybout 1997; Campa 2004) found a very strong effect from the previous years’ exporting status on the current decision to export. Another important statistical issue regarding estimation of model is “sample censoring”. The dependent variables, AVGWAGE, can only be calculated for pairs of plants that remained as exporters in t and t-1. Therefore, the sample is likely to be truncated, particularly during the peak of the crisis, and estimating equation on the selected sample may lead to biased estimates.

The main data set for the quantitative analysis is the annual manufacturing surveys of medium- and large-scale establishments (Statistik Industry, or SI), panel data, from 1980 to 2004.

As major problems of panel design, the survey obtains an initial representative sample of respondents at set intervals over an extended time. As such, panel establishments may drop out of the survey, and the repeated observations may influence their behavior.

This study adopts firm-level survey, and in-depth interview, as the data collection strategy to answer research-policy questions. Special attention is given to the factors that cannot be represented by some variables extracted from the secondary data. The interview, in particular, asked the following topics: industrial upgrading and transfer mechanism to workers; and the problems that company faces in industrial adjustments related to wage restraining effects. Determining the counterfactual, however, may be at the heart of core problem in this project design. It is, however, quite tricky to net out the impact of global sourcing activities of MNCs from the counterfactual conditions that are likely to be influenced by contemporaneous events, selection bias, and contamination. Hence the findings should be treated carefully, since they can offer no grounds for establishing reliability of generality of findings


Tuesday, March 25, 2008

Bravo pak Nuh!


bravo pak Nuh, tidak salah pak presiden milih anda jadi menkominfo! well, ternyata berita tentang rencana pemblokiran situs porno juga masuk di beberapa media internasional.
di financial times hari ini akhirnya berita bagus tentang Indonesia ada juga, setelah sebelumnya dalam beberapa bulan terakhir pasti cuma tentang dispute MNC dengan pemerintah, kasus korupsi soeharto dan adam air...

mengenai pembahasan UU nya sendiri tidak banyak ramai diributkan sperti kasus RUU anti porno aksi dan pornografi. mungkin ini menjadi pelajaran penting buat partai2 islam yang anti maksiat untuk lebih apik bermain di sektor2 saja, daripada ribut2 RUU APP yg banyak ditentang. uniknya lagi, suara penentang masalah ini tidak datang dari PDIP, atau PDS, atau partai2 sekuler lainnya...

yg saya tau cuma ratna sarumpaet yg bicara penolakan terhadap UU ini.... baca2 di detik.com atau kompas juga tidak ada yg berani menolak aturan ini....
hahaha....

terkait dengan akses internet ke SMA2, saya pikir ini langkah jenius untuk mencerdaskan bangsa... klo liat iklan telkom speedy yg anak dari daerah terpencil menang lomba mading nasional, saya pikir itu akan jadi kenyataan untuk semua sekolah2 lain...

masih terkait dengan internet, kasus Malaysia dengan berkurang drastisnya suara Barisan Nasional yg diakui Badawi karena ia tidak memperhatikan aspek internet sebagai salah satu media kampanye. dan salah satu anggota parlemen yg terpilih dari kalangan oposisi adalah aktivis blogger (dengan 11 juta pengunjung - http://www.jeffooi.com/), menunjukan potensi internet sebagai salah satu alternative media kampanye.

semoga kita bisa menjadi bangsa yg lebih baik...
insya allah