Saturday, February 2, 2008

Ekonomi Politik Pertambangan di Indonesia

Ekonomi Politik Pertambangan di Indoneia

Fauzan Zidni, Lee Kuan Yew School of Public Policy

Pemahaman mengenai ekonomi politik dalam sektor pertambangan di Indonesia tidak lepas dari latar belakang undang-undang yang mengaturnya. Negara merupakan entitas yang memiliki otoritas pengaturan atas kehidupan politik dan ekonomi. Namun demikian, peranan negara di dalam melakukan regulasi atas aktivitas ekonomi dan politik tersebut memiliki beragam variasi tergantung ideologi penyelenggara negara pada saat membuat aturan tersebut. Dalam konteks pertambangan di Indonesia terdapat beberapa perubahan yang cukup drastis dan menarik untuk dikaji lebih lanjut.
Tulisan ini akan menguraikan ekonomi politik pertambangan di Indonesia. Pembahasan akan diawali oleh sejarah masuknya modal asing dalam sektor pertambangan di Indonesia yang dikaji berdasarkan undang-undang yang mengaturnya. Undang-undang tersebut menghasilkan beragam tingkatan keterlibatannya dalam kehidupan masyarakat. Di dalam sektor pertambangan, variasi keterlibatan negara memiliki berbagai bentuk sesuai undang-undang dan perjanjian yang mengikatnya. Kemudian, pembahasan akan berlanjut kedalam pembahasan yang lebih bersifat politis. Pasca runtuhnya rezim Orde Baru yang menghasilkan perubahan varian sistem politik yang juga berdampak kepada sektor usaha pertambangan, tulisan ini juga akan membahas lebih lanjut bagaimana perubahan politik tersebut berpengaruh kedalam ekonomi politik sektor pertambangan.

Sejarah Masuknya PMA Sektor Pertambangan di Indonesia


Kehadiran modal asing dalam sektor pertambangan pada awalnya disebabkan oleh ketidak mampuan pemerintah maupun pengusaha nasional untuk melakukan eksplorasi. Hal ini dikarenakan biaya investasi yang sangat besar dan ketidakmampuan secara teknologi. Kehadiran modal asing sebagai kontraktor tentunya memerlukan aturan main yang jelas. Dalam sejarahnya terdapat beberapa fase regulasi di sektor pertambangan.

Fase Penjajahan Kolonial. Belanda : Mijn Reglement 1850, Ordonantie 1910, dan Ordonantie 1918. Jepang : UU No.1/1942 Penguasa Kolonial Jepang
Sejarah masuknya penanaman modal asing ke dalam sektor pertambangan di Indonesia dimulai pada masa penjajahan Belanda. Sebagai otoritas tunggal yang mengatur berbagai permasalahan di negeri jajahannya pemerintah kolonial menerbitkan peraturan Mijn Reglement 1850. Peraturan tersebut mengatur tentang pemberian konsesi kepada swasta untuk melakukan usaha pertambangan. Peraturan tersebut juga mengatur adanya pembagian wewenang dalam pemberian ijin pertambangan antara Pemerintah Kerajaan Belanda dan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.[1]
Tercatat, hingga tahun 1938 ada 471 perusahaan yang bergerak di sektor usaha pertambangan. Kemudian dalam Ordonantie 1910 dinyatakan bahwa pemerintah bisa bekerja sama dengan swasta dalam bentruk Ordonantie 1918 yang menyatakan tidak diperlukannya persetujuan melalui UU untuk kontrak eksplorasi dan eksploitasi.[2] Perubahan yang terjadi pada Ordonantie 1910 ialah penambahan terhadap pasal 5a. Pasal inilah yang menjadi dasar bagi kontrak karya pertambangan, yang kemudian pada saat itu dikenal sebagai “5 a contract”.[3]
Pada masa penjajahan Jepang, melalui UU No.1/1942, Penguasa Kolonial Jepang masih mengakui semua aturan perundang-undangan yang diberlakukan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda sejauh tidak bertentangan dengan aturan Pemerintah Militer Jepang di Indonesia. Pada masa penjajahan Jepang, tercatat ada empat perusahan pertambangan Jepang yang beroperasi di Indonesia, yaitu Ishihara Sankyo, Mitsui Kozan, Nippon Chissui dan Mitsubishi Kaisha yang antara lain beroperasi dalam sektor pertambangan batu bara.[4]

Fase Nasionalisasi
Setelah Indonesia merdeka peraturan pertama yang mengatur sektor pertambangan dinyatakan dalam UU No. 78/1958. UU tersebut menyatakan usaha pertambangan yang vital tertutup bagi modal asing. Selain itu juga, usaha pertambangan yang dikuasai pihak asing, khususnya Belanda, harus di nasionalisasikan berdasarkan UU No. 86/1958. Tahun 1959, melalui UU No.10/1959 tentang Pembatalan Hak-Hak Pertambangan.
Undang-Undang yang lahir pada masa Orde Lama ini muncul karena dua hal yang terjadi pada saat itu. Pertama, pergolakan-pergolakan yang muncul di sekitar wilayah kerja pertambangan minyak di Daerah Istimewa Provinsi Aceh dan pantai timur Sumatera. Kedua, persoalan-persoalan yang muncul dalam pertambangan timah dan nasionalisasi menjadi milik pemerintah Indonesia.[5] Pada awal permulaan kemerdekaan, hasil minyak bumi, timah dan bahan galian lainnya akan dapat menjadi sumber keuangan yang cepat digunakan untuk kepentingan negara. Namun, aturan yang berlaku sejak Indonesia merdeka hingga 1951 adalah undang-undang pertambangan yang memberikan kekuasaan dan hak yang terlalu besar kepada pihak pemegang konsesi pertambangan.[6]
DPR pada masa itu merasakan pentingnya pergantian UU pertambangan peninggalan masa penjajahan Belanda. Kemudian Mr. Teuku Muhammad Hasan mengajukan mosi untuk perubahan UU tersebut. Mosi tersebut berisikan usul untuk membentuk Panitia Negara Urusan Pertambangan, yang kemudian diterima oleh DPR pada 2 Agustus 1951.[7]
Oleh pimpinan DPR mosi tadi dengan perumusannya disampaikan kepada pemerintah disertai dengan usulan dari parlemen yaitu tentang status pengusahaan dan tambang minyak, serta tambang lainnya, persiapan RUU dan bagi hasil negara dengan perusahaan tambang asing. DPR juga memberikan tugas kepada panitia negara yang diusulkannya sebagai berikut :[8]
Secepat mungkin menyelidiki permasalahan-permasalahan mengenai berbagai masalah tambang di Indonesia.
Mempersiapkan RUU Pertambangan Indonesia yang sesuai dengan konteks Indonesia pada saat itu.
Memberi pertimbangan kepada tentang sikap pemerintah terhadap status tambang minyak di Sumatra Utara dan Cepu khususnya serta tambang-tambang minyak lainnya.
Memberikan pertimbangan kepada pemerintah tentang status tambang timah di Indonesia/
Memberikan pertimbangan kepada pemerintah tentang pajak cukai atas bahan-bahan minyak dan penetapan harga minyak.

Pelaksanaan secara lebih lanjut dilaksanakan oleh pemerintah dengan dibentuknya panitia negara dan panitia pembantu teknisnya. Panitia Negara bertugas mengumpulkan data dan merumuskan kedalam RUU ini beranggotakan : Mr. Lukman Hakim dan Mr. Moh. Rum. Sedangkan panitia teknisnya terdiri dari Ir. Anondo, S.M., Sair dll, kemudian pada 1958 digantikan dengan Ir. Ukar Binatakusumah, Sajuti Thalib S.H., Dr. Sanger, Ir. Salman Padmanegara. Pada masa Menteri Dr. Chaerul Saleh UU yang dihasilkan oleh tim tersebut kemudian disahkan yang dipecah kedalam dua buah UU yaitu, UU Pertambangan dan UU Pertambangan Minyak dan Gas Bumi.[9]
Kondisi sosial politik pada saat UU tersebut disahkan pada akhir 1958 dan selama 1959 adalah saat yang penuh semangat dalam perbaikan ekonomi melalui nasionalisasi perusahaan asing terutama Belanda menjadi milik pemerintah. Dalam situasi seperti itu, kemudian lahir UU No.10/1959 tentang Pembatalan Hak-Hak Pertambangan Asing di Indonesia yang menjadi dasar hukum bagi pemerintah untuk mengambil alih aset pertambangan milik asing.[10] Untuk melengkapi UU tersebut, pemerintah juga menerbitkan dua Pernyataan Pemerintah dan satu Peraturan Pemerintah yaitu, Pernyataan Pengambilalihan Perusahaan Pertambganan Singkep, Pernyataan Pengambil alihan Perusahaan Pertambganan Singkep, dan Peraturan Pemerintah pengambil alihan perusahaan-perusahaan asing, termasuk perusahaan-perusahaan pertambangan.[11]
Khusus mengenai UU No.10/1959 tentang Pembatalan Hak-Hak Pertambangan asing di Indonesia kita dapat menganalisis hubungannya dengan persiapan pembuatan UU Pertambangan. Biasanya, dalam setiap UU baru selalu ada pasal peralihan yang mengatur hubungan hasil pelaksanaan UU terdahulu dengan UU yang baru. Hal ini berguna untuk penerapan dasar kekuatan berlakunya UU yang baru. Pasal peralihan tersebut berisikan pengakuan dari Pemerintah RI terhadap semua hak-hak pertambangan yang diberikan oleh penguasa kolonial Belanda maupun Jepang dengan penyesuaian kepada kehendak UU yang baru.
Kemudian, setelah diselidiki, ternyata terdapat 2.871 hak pertambangan yang telah diterbitkan oleh pemerintah kolonial yang berisikan 245 izin penyelidikan pertambangan, 60 kontrak 5a eksplorasi, 66 kontrak 5a eksplorasi-eksploitasi, 272 konsesi eksploitasi, dan 21 permohonan konsesi eksploitasi. Dengan mempelajari hal ini, kita akan melihat perlu adanya penyelsaian lebih dahulu tentang hak-hak yang berlaku lewat pemberian konsesi oleh pemerintah kolonial. Namun setelah diperiksa, ternyata banyak hak pertambangan tersebut yang tidak dikerjakan lagi. Beragam alasan yang ada, mulai dari keadaan yang masih belum aman di karenakan perang yang berkepanjangan hingga perusahaan yang mayoritas milik Belanda sudah ditinggal oleh pemiliknya. Untuk menjamin kepastian hukum ditambah pertimbangan politis untuk mempersiapkan jalan yang lancar bagi UU Pertambangan yang baru, maka terbitlah UU Tentang Pembatalan Hak-Hak Pertambangan Asing.[12]
Terbitnya UU tersebut menurut penulis bukan saja disebabkan oleh semangat nasionalisasi aset-aset asing di Indonesia, tetapi juga dikarenakan kebutuhan yang lebih bersifat adanya kepastian hukum. Beberapa tahun kemudian, karena memang konteks sosial politik berubah maka UU Pertambangan No.37 Prp. Tahun 1960 tersebut digantikan oleh UU Pokok Pertambangan No.11 Tahun 1967 yang berlaku hingga saat ini.

Fase Orde Baru
Perubahan rezim dari Orde Lama ke Orde Baru ikut mengubah paradigma berpikir rezim pemerintahan. Semangat Orde Lama pada awal kemerdekaan Indonesia adalah semangat nasionalisme. Semangat ini kemudian digantikan dengan tujuan pragmatis untuk mendorong pembangunan ekonomi Indonesia pada masa Orde Baru. UU No.1/1967 tentang Penanaman Modal Asing menjadi payung hukum bagi masuknya investor asing dalam berbagai bidang usaha di Indonesia. UU ini menegaskan usaha pertambangan bisa dimasuki modal asing berdasarkan kerjasama dengan pemerintah melalui Kontrak Karya. Aturan ini kemudian diperkuat lewat UU No.11/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan yang memberikan peluang kepada modal asing untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan tambang Indonesia. Selain itu, UU ini menyatakan pembatalan terhadap UU No. 37 Prp/1960 tentang Pertambangan yang menyatakan bahan galian dikuasai oleh negara.
Lebih lanjut, aturan yang dikeluarkan oleh Orde Baru memberikan kesempatan yang luar biasa besar dan mudah untuk masuknya modal asing kedalam sektor pertambangan nasional. Selama perusahaan asing itu mendirikan perusahaan berbadan hukum yang sesuai dengan peraturan perundangan di Indonesia, maka perusahaan tersebut bisa beroperasi. Karena memang UU No. 11/1967 itu memberikan peluang besar pada perusahaan swasta bahkan perorangan warga negara Indonesia atau berdomisili di Indonesia untuk ikut terlibat dalam bisnis pertambangan. Meskipun pada kenyataanya sektor pertambangan kemudian di monopoli oleh perusahaan asing dan BUMN. Selain itu pertambangan perseorangan yang sudah ada sejak dahulu ikut tersingkirkan.
Fase pemerintahan Orde Baru juga telah menghasilkan ratusan kontrak karya bagi MNCs maupun perusahan lokal. Banyaknya kontrak pertambangan di Indonesia telah memberikan asumsi yang keliru, seakan-akan sistim kontrak di sektor pertambangan pertama kali diperkenalkan ke dunia oleh Indonesia. Bahkan ada wacana yang berusaha memberikan suatu legitimasi dengan mendasarkannya kepada hukum Adat. Yaitu, dengan menghubungkan kontrak bagi hasil (production sharing contract) dengan ‘paruh’,‘pertelu’, dan lainnya.[13]
Secara konstitusional sebenarnya tidak ada alasan untuk menolak pengusahaan sumberdaya mineral di Indonesia. Pasal 33(3) UUD'45 telah memberikan kuasa kepada pemerintah untuk mengatur diusahakannya sumberdaya mineral. Yang penting adalah bagaimana pemerintah mengontrol sumberdaya mineral ini sehingga memberikan manfaat bagi Indonesia. Dari segi pengadministrasian pengusahaan, secara sederhana dapat dikatakan bahwa terserah kepada pemerintah bagaimana mengatur pengusahaan penambangan bahan-bahan galian, mana yang ingin dijadikan monopoli pemerintah dan mana yang boleh diusahakan oleh swasta melalui lembaga perizinan, apapun itu nama izin yang diberikan.[14]
Pada awal-awalnya Indonesia, sebagaimana negara-negara dunia ketiga lainnya, memperlakukan sektor pertambangan dengan ekstra hati-hati. Hal ini tercermin dalam undang-undang pertambangan yang sangat nasionalistik. Kemudian, karena ketidakmampuan dalam modal, teknologi, dan manajemen, berangsur-angsur berubah menjadi liberal. Terlepas dari misi baik yang diemban PBB, justeru di bawah pengaruh PBB-lah negara-negara terbelakang mulai membuka pintunya dengan memperkenalkan undang-undang penanaman modal asing (PMA). Sekarang ini mengapa ada pengusahaan pertambangan sendiri oleh BUMN-BUMN (seperti Pertamina, Aneka Tambang, Timah, Tambang Batubara Bukit Asam, termasuk BUMD-BUMD seperti PD Kerta Pertambangan Jawa Barat, PD Pertambangan DI Yogyakarta, dan PD Pertambangan Dati II Jember) dan ratusan kontrak-kontrak kerjasama disamping pengusahaan pertambangan berdasarkan pemberian izin yang biasa, tidak lain adalah merupakan usaha pemerintah dalam rangka mengejar manfaat tadi.[15]
Jika memang harus melalui pengusahaan sendiri yang berarti monopoli, maka adalah penting bahwa itu hanya bisa dilakukan apabila pemerintah sanggup untuk membiayai dan mengerjakan sendiri semua-semuanya termasuk tahap yang beresiko tinggi dan padat modal seperti eksplorasi dan konstruksi. Biasanya, kunci utama dalam pengusahaan sendiri adalah efisiensi. Sedangkan tanpa memperhatikan dari dekat kemampuan teknologi, manajemen, dan pemasaran BUMN-BUMN di Indonesia, dari sudut permodalan saja sekarang ini pemerintah sudah nyata-nyata tidak mampu. Selanjutnya, fakta mengungkapkan bahwa BUMN-BUMN di Indonesia jauh dari apa yang disebut dengan efisien.[16]
Tidak heran apabila kontrak-kontrak kerjasama di sektor pertambangan menjadi sangat penting peranannya, karena sistem ini adalah cara utama bagi PMA berusaha di sektor pertambangan. Hukum pertambangan di Indonesia masih belum memperbolehkan PMA langsung sebagai pemegang izin pertambangan. Walaupun kenyataannya, sebagai terobosan dalam menjawab tuntutan keadaan, kontrak karya, dari sudut pemberian hak-haknya, sudah hampir sama saja dengan izin pertambangan. Mengingat bahwa dasar dari pengusahaan adalah semata-mata kontrak, maka berbeda dengan pengaturan rezim hukum pertambangan, peranan pihak yang mempunyai bargaining powers sangat besar. Dari pihak PMA, sudah tentu mereka tidak akan mau datang kalau tidak ada prinsip fair treatment. Perlu menghindar dari pemerintah tuan rumah yang menjadi tamak ketika PMA berhasil menemukan bahan galian yang dieksplorasinya. Jadi tugas pemerintah adalah bagaimana membuat formula yang seimbang.[17]
Selama sistem PMA di sektor pertambangan masih menganut sistem kontrak, memang pemerintah (termasuk pemerintah daerah) harus selalu ulet dalam bernegosiasi dengan PMA tambang. Secara umum, keuntungan yang diperoleh suatu negara dari pemberian izin pertambangan adalah dari pajak dan royalti disamping hal-hal yang tidak langsung seperti penyediaan lapangan kerja dan perangsangan pertumbuhan daerah. Biasanya negara-negara sangat cepat untuk saling mempelajari berapa sesungguhnya persentase royalti dan pajak yang lazim. Perolehan dari royalti (iuran tetap dan iuran produksi) dan pajak inilah yang harus diawasi dengan sungguh-sungguh, jangan sampai bocor atau tertipu.[18] Dalam menganalisa masalah regulasi yang dikeluarkan pemerintah, Adam Przewerski menjelaskan posisi yang lebih baik yang dimiliki oleh sektor privat. Ini disebabkan oleh pengetahuan lebih relevan yang tidak diketahui pembuat peraturan.[19]
Jika dulu pemerintah mengundang Freeport dan PMA tambang lain dengan tax-holiday untuk beberapa tahun, maka selain karena itu merupakan strategi saat itu untuk mengundang masuk PMA, hal itu juga diimbangi dengan keharusan PMA untuk membuka daerah, membangun sekolah dan rumah-sakit dan lain sebagainya, yang dikenal dengan community programs. Dari segi hukum PMA-nya sendiri, PMA diharapkan untuk melakukan training (alih teknologi) dan program divestasi atau penyertaan modal dalam negeri. Namun apabila perusahaan PMA sudah dikenakan pajak berdasarkan hukum perpajakan yang berlaku umum disamping pembayaran royalti, maka tidak heran jika trend-nya sekarang ini bagi PMA untuk menghindar dari kewajiban-kewajiban pembangunan sekolah, rumah-sakit dan sejenisnya, mengacu kepada praktek-praktek dunia pertambangan umumnya. Demikian pula dengan program divestasi, negara-negara majupun seperti Australia, bila tidak ada pengusaha dalam negeri yang mau mengikutsertakan modalnya pada perusahaan tambang asing, tidak harus program divestasi tersebut dilaksanakan secara paku-mati.[20] Tetapi permasalahannya adalah, dengan hadirnya desentralisasi, apabila pada masa Orde Baru pemerintah pusat merasa tidak memerlukan pembelian divestasi, maka kehadiran entitas baru yang memiliki kewenangan yang kuat yakni pemerintah daerah yang selama ini di anak tirikan membuat mereka menginginkan bagian terhadap kepemilikan saham divestasi tersebut.
Jadi, selama PMA tambang masih berdasarkan sistem kontrak, pemerintah memang harus adu ulet dalam bernegosiasi. Disamping itu, jika memang pemerintah dan kondisi perusahaan swasta nasional memungkinkan, pemerintah dapat menetapkan policy yang dapat mendongkrak kemampuan perusahaan swasta nasional di sektor pertambangan, seperti penyertaan modal dalam negeri/lokal pada waktu usaha tambang memasuki tahap produksi, sehingga bukan saja ketergantungan kepada PMA yang berkurang tetapi misi pemerintah yang diembankan oleh UUD'45 tercapai.
Tetapi sayangnya, usaha pemerintah dalam regulasi dan praktek usaha pertambangan justru memarjinalkan kaum adat dan pertambangan perseorangan yang secara tradisi sudah mengakar di masyarakat. Kehadiran perusahaan pertambangan di daerah juga menghasilkan kesenjangan yang besar dengan masyarakat. Melihat banyak kasus di daerah, kondisi yang kontras antara pemukiman pegawai dengan masyarakat sekitar juga fasilitas yang ada di antara keduanya menimbulkan kerawanan konflik sosial yang akan sulit dikendalikan apabila dibiarkan begitu saja.
Kehadiran MNC dalam sektor pertambangan khususnya di sektor batubara dimulai pada periode 1980an. Indonesia yang mendapatkan keuntungan yang luar biasa pada periode bonanza minyak bumi dan gas alam harus menghadapi kenyataan turunnya harga minyak bumi. Ini berakibat pada penurunan pendapatan negara dari sektor migas yang mencapai 70 persen dari pendapatan negara.[21] Menghadapi situasi seperti itu, M Sadli, Menteri Pertambangan pada saat itu menerapkan sistem pasar pada sektor industri pertambangan.[22] Sebelumnya, sektor pertambangan khususnya batubara adalah monopoli dari BUMN ditambah beberapa perusahaan kecil pertambangan milik Indonesia dengan rata-rata produksi hanya berkisar 1-4 juta ton per tahun.[23] Substitusi dari migas ke batu bara juga merupakan strategi diversifikasi untuk penggunanan energi domestik agar penggunaan migas lebih di prioritaskan untuk ekspor.

Beberapa Permasalahan dalam Sektor Pertambangan di Indonesia


Dalam menganalisa sektor pertambangan di Indonesia, permasalahan keharusan divestasi hanyalah salah satu dari sekian banyak dampak sosial maupun lingkungan yang dihasilkan oleh situs pertambangan. Kasus teluk buyat di Sulawesi misalnya, menjadi perhatian serius bagi banyak pihak. Selain itu terdapat beberapa permasalahan yang akan penulis coba uraikan berikut ini :

Konsep Dasar Pengelolaan Sumber Daya Mineral
Secara konstitusional pengelolaan sumber daya mineral mengacu pada pasal 33 ayat 2 dan 3 UUD 1945, sebagai berikut : 2) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menyangkut hajat hidup rakyat dikuasai negara. 3) bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Namun, UU No.11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan, dalam perkembangannya selama 40 tahun, yang memuat tujuan dan cita-cita bangsa dan Negara untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat belum sepenuhnya terwujud. UU tersebut memiliki berbagai kelemahan dan kendala. Adanya berbagai perubahan di berbagai bidang secara kontemporer seperti desentralisasi, demokratisasi, tuntutan transparansi pada masa refirnasu membuat UU tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan saat ini. Berikut hal-hal yang dianggap sudah tidak sesuai :
1. Kemitraan Usaha Pertambangan.
Pada pasal 33 ayat 1 menyebutkan “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan”, hal ini tidak tercermin dan terjabarkan dalam UU No.11 tahun 1967. Meskipun terdapat pengaturan tentang koperasi, pertambangan perorangan dan pertambangan rakyat, namun pada kenyataannya bahkan peraturan pelaksanaan lebih lanjutnya saja tidak ada. Apalagi berharap kemitraan terhadap pemain kecil di sektor pertambangan dapat terlaksana.
2. Kriteria Cabang Produksi yang Penting.
Dalam Pasal 33 ayat 2 dijelaskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting dikuasai oleh Negara. UUD memang tidak mengatur kriteria cabang-cabang produksi yang penting. Namun, fatalnya begitu juga yang terjadi dalam berbagai UU yang mengatur tentang pengolahan sumber daya alam lainnya. Memang, dalam UU No.11 tahun 1967 disebutkan kriteria “strategis” dan “vital”, tetapi tidak ada batasan apa saja yang dimaksud dengan kedua kriteria tersebut. Dalam prakteknya pemerintah menentukan dan mengolah sendiri berbagai usaha pertambangan melalui BUMN dan Kontrak Karya/PKP2B yang akhirnya menjadi dominasi mereka saja.
3. Penguasaan dan Pemilikan atas Barang Tambang.
Masih dalam keterkaitan dengan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, pengertian “dikuasai oleh Negara” tidak ada penjelasan secara tegas apakah “dikuasai oleh Negara” juga berarti “dimiliki oleh Negara”. Dalam pasal 1 UU No.11 tahun 1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan mengenai pengusahaan bahan galian ditentukan sebagai berikut :
Semua bahan galian yang terdapat dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia yang merupakan endapan-endapan alam sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah Kekayaan Nasional Bangsa Indonesia dan karenanya dikuasai dan dipergunakan oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat

Berikut adalah tiga buah contoh kasus konflik interpretasi atas pasal 33 ayat 3 UUD 1945 tersebut antara masyarakat dengan pemerintah :
a. PT Kelian Equatorial Mining vs Komunitas Dayak.
PT Kelian Equatorial Mining dan komunitas lokal dayak terlibat dalam suatu kontrak penambangan di Kalimantan. Setelah ditandatangani, kedua pihak terikat pada aturan yang disepakati kedua belah pihak dan dimediasi oleh pemerintah pusat. Perusahaan tersebut kemudian mengambil alih pemilikan tanah dan membayar kompensasi kepada hak ulayat masyarakt pemilik tanah tersebut. Namun demikian, penduduk setempat berargumen bahwa perjanjian tersebut tidak dapat mengalihkan kepemilikan tanah. Karena menurut mereka kontrak ini bukan kontrak penjualan, melainkan hanya mengatur perizinan bagi perusahaan itu untuk menggunakan tanah asalkan sesuai dengan kepentingan penduduk setempat. Warga setempat mengklaim sebagai pemilik tanah dan yakin bahwa hak-hak bersama mereka masih melekat pada tanah tersebut. Manakala masyarakt setempat memandang bahaw pihak manajemen perusahaan terkait tidak dapat memenuhi kepentingan masyarakat setempat. Maka mereka menuntut perubahan perjanjian menyangkut tanah yang dicakup oleh kontrak pertambangan tersebut serta menuntut untuk dapat mengelola sendiri sumber daya alam mereka.[24]

b. PT Ampalit Mas Perdana vs Masayarakat Ampalit.
Kasus PT Ampalit Mas Perdan dan Masyarakat Ampalit merupakan contoh lain. Dalam kasus ini, masyarakat bersikeras bahwa Pasal 33 UUD 1945 hanya memberi kewenangan kepada negara untuk mengembangkan sumber daya mineral untuk kebaikan bangsa, dan bahwa kepemilikan sumberdaya mieral tersebut tetap merupakan hak pemilik tanah. Namun denikian, pihak perusahaan mengklaim bahwa pihaknya kini telah memiliki mineral tersebut karena telah memenuhi seluruh kewajiban yang ditetapkan atas pihaknya berdasarkan kontrak, dan tealh membayar kompensasi. Untuk itu, pihak perusahaan menuntut hak tunggal untuk menguasai dan mengambangkan tanah. Akan tetapi, masyarakat setempat menghakimi sendiri kasus tersebut dan merusak fasilitas perusahaan di situs pertambangan tersebut. Masyarakat setempat juga yakin karena hukum adat mereka menempatkan kepemilikan sumber daya mineral atas mereka, maka mereka juga memiliki hak untuk mengembangkan mineral tersebut dan menjualnya. Namun demikian, pemerintah berpendirian bahwa penambangan tradisional atau penambangan adat itu adalah ilegal karen cara-cara penambangan tidak dilakukan berdasarkan UU dan peraturan yang berlaku.[25]

c. Kasus Aurora Gold
Konflik terbaru antara pihak penambang dan masyarakat yang melakukan penambangan tradisional (atau berdasarkan versi pemerintah adalah “penambangan illegal”) adalah kasus yang melibatkan perusahaan penambangan Australia, Aurora Gold. Perusahaan itu mengeluhkan bahwa proyeknya terganggu oleh adanya penambangan illegal dan terkendala karena kurangnya dukungan pemerintah. Kawasan penambangannya dijarah oleh sekitar 2.000 hungga 3.000 penambang ilegal, yang telah merubah situs penambangan itu menjadi bencana lingkungan dengan penggunaan zat mercury yang berlebihan.[26] Pihak pemerintah setempat menunjukkan keengganan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Tambang emas Aurora terakhir beroperasi pada tahun 2002 yaitu Mount Muro di Kalimantan Tengah.[27]

Negara sebagai “penguasa atas kekayaan alam” mengandung pengertian kewajiban dan wewenang dalam bidang hukum publik. Negara punya kewenangan untuk mengatur kekayaan alam seperti sumber daya mineral. Apabila masih merupakan kesatuan dengan bumi dan masih merupakan bongkahan maka tugas negara sebagai penguasa berwenang untuk mengaturnya. Sedangkan sudah menjadi barang tambang, yang merupakan benda bernilai ekonomis yang dapat diperjual belkikan, maka Negara berada dalam posisi dan fungsi lain, bukan mengatur tetapi bisa menjadi pemilik.
Namun, dalam prakteknya, UU No.11 tahun 1967, peranan dan fungsi negara sebagai penguasa dan pemilik cukup besar hingga peran serta masyarakat dan koperasi sangat kecil dan terabaikan. Selain itu, dengan peran dan fungsi serta kewenangan yang besar, pada kenyataannya ketika berhadapan dengan kekuatan struktural pengendali modal, Negara dalam posisi yang sangat lemah.
Tiga kasus tersebut mengindikasikan bahwa pentingnya memberikan definisi yang jelas akan kepemilikian mineral. Menurut teori hukum pertambangan, konsep kepemilikan mineral merupakan fondasi yang penting bagi terbentuknya kebijakan pertambangan yang baik di sebuah negara. Konsekuensinya pasal 33 ayat 3 UUD 1945 merupakan tolak ukur atas ketetapan pengaturan dalam UU pertambangan umum.

Konflik Perundang-undangan
Konflik peraturan perundang-undangan antara sektor pertambangan dan sektor lainnya seperti kehutanan, sering kali terjadi pada proses pengusahaan mineral terutama pada masa eksplorasi. Pada masa eksplorasi, kontraktor mieral membutuhkan data cadangan mineral pada sebuah daerah yang akan di kembangkan. Untuk itu, pada daerah tersebut harus dilakukan pengeboran-pengeboran pada titik tertebtu untuk mendapatkan evaluasi kandugnan mineral di dalam tanah.
Namun, sering kali peraturan perundagan di sektor kehutanan melarang melakukan penebangan khususnya pada kawasan hutan lindung dan konservasi untuk kepentingan apapun. Kasus PT Newmont Bengkulu Minerals, PT Gag Nikel Mineral merupakan diantara contoh perusahaan yang sudah mendapatkan hak izin konsesi pengembangan mineral namun tidak dapat melakukan pengembangan karena terhadang oleh larangan pengembangan mineral di kawasan hutan lindung. Pasal 38 UU No.41 tahun 1999 tentang kehutanan melarang dilakukan keiatan pertambangan di kawasan hutan lindung. Padahal 22 Kontrak Karya kegiatan pertambangan yang arealnya di hutan lindung telah dibuat sebelum UU No.41 tahun 1999 diberlakukan.[28]

Nasib Hak Ulayat
UU No.11 tahun 1967 tidak menyentuh pengembangan wilayah dan masyarakat setempat. Seringkali kepentingan penduduk asli setempat terabaikan bahkan dikorbankan. Terutama menyangkut persoalan hak asasi manusia dan lingkungan hidup. Konflik yang terjadi disebabkan antara lain oleh :
1. Penguasaan tanah ulayat masyarakat Hukum adat dengan paksa. Padahal hukum tanah positif (UUPA) mengakui keberadaan hak ulayat pada masyarakat asli, dalam UU No.4 tahun 1976 mengatur tentang pengakuan tanah ulayat tetapi kurang menghargai hak-hak ulayat masyarakat setempat. Bila musawarah tidak tercapai dan masyarakat menolak ganti rugi pembebasan tanah maka Pengadilan Negeri setempat yang memutuskan (Pasal 27 ayat 3). Dalam prakteknya, masyarakat dipaksa untuk mnyerahkan tanahnya dengan dalih untuk kepentingan negara/nasional. Masyarakat dalam posisi yang lemah dalam relasi dengan negara dan terpaksa harus menerima apa yang telah ditetapkan pemerintah.
Pertambangan rakyat (perorangan) yang telah turun menurun (indigenous mining) sering digusur paksa oleh pemerintah dengan dalih merusak lingkungan dan kemudian pemerintah mengambil alih dengan mengusahakan pertambangan besar melalui BUMN maupun Kontrak Karya/PKP2B dengan perusahaan asing.[29]
2. Sebagai akibat pengambilan atas tanah hak ulayat dan penggusuran paksa pertambangan rakyat, maka rakyat tersebut terpinggir dari sumber hidupnya. Selain itu pengusaha pertambangan tidak menggunakan masyarakat setempat untuk tenaga kerja, dengan dalih pendidikan dan pengetahuan yang rendah. Kemudian, pengusaha pertambangan menggunakan tenaga kerja dari luar, akibatnya tingkat ekonomi pendatang dengan masyarakat setempat terjadi ketimpangan yang besar. Selain itu, dalam berbagai situs pertambangan, perumahan karyawan tambang berada di dalam lokasi tambang dan memiliki fasilitas yang sangat baik. Hal itu berbanding terbalik dengan kondisi masyarakat di sekitar pertambangan yang tidak didukung oleh infrastruktur yang baik, karena prioritas utama pengusaha tambang hanya dirinya dan mendapatkan keuntungan maksimum.[30]
3. Akibatnya, kualifikasi ini menimbulkan pengakuan yang lemah atas hukum adat. Sementara dikatakan bahwa hak-hak adat diakui oleh hukum nasional, sedang kenyataannya pengakuan ini hanyalah bersifat simbolis. Padahal dalam Deklarasi Rio pada tahun 1992 dinyatakan bahwa setiap keputusan untuk mengembangkan mineral harus memperhatikan aspek lingkungan. Masyarakat setempat harus di ikut sertakan secara aktif dalam setiap aspek pengambilan keputusan.[31]

Perbandingan Nasib Ulayat di Dunia Internasional.
Beberapa negara memiliki undang-undang khusus yang melindungi hak ulayat. Australia dengan the 1997 Native Title Act, Filipina dengan The 1997 Indigenous People Rights Protection Act, atau Kanada dengan The Indoan Protection Act. Hukum yang berlaku mengakomodasi konvensi internasional terhadap perlindungan penduduk asli. Konvensi ILO nomor 169 tentang perlindungan penduduk asli dan pribumi memberikan hak perlindungan atas hak yang dimiliki penduduk asli dan pribumi untuk hidup dan mengembangkan tanah mereka sesuai dengan kebutuhan mereka sebagai anggota masyarakat. Konvensi mengenai hal ini sudah secara intensif dilakukan dalam rangka melindungi budaya penduduk asli dan pribumi, tanah dan sumber daya yang dimiliki, serta tidak ada perbedaan perlakuan sosial terhadap mereka.[32]
Berikut ini adalah perbandingan status meneral dan hak ulayat yang diatur oleh konstitusi masing-masing negara :
Tabel 3
Perbandingan Status Kepemilikan Sumber Daya Mineral dan Hak Ulayat
Negara
Status Mineral
Status Hak Ulayat
Canada
Milik Negara
Diakui hak ulayat
Australia
Milik Negara
Diakui hak ulayat
Chili
Milik Negara
Diakui hak ulayat
Papua New Guinea
Milik Negara
Diakui hak ulayat
Filipina
Milik Negara
Diakui hak ulayat
Argentina
Milik Negara
Diakui hak ulayat
Indonesia
Dikuasai Negara
Tidak jelas

Pertambangan Tanpa Izin (PETI)
Fenomena PETI muncul sejalan dengan era rofarmasi yang masih berlanjut dengan berbagai krisis ekonomi yang terjadi. Masyarakat lokal yang tertindas dan terpinggirkan bangkit untuk memperjuangkan hak-haknya yang merasa terampas oleh MNCs pertambangan dan Pemerintah pusat. Bukan hanya atas tanah rakyat, tetapi juga hak atas pengelolaan pertambangan yang telah turun temurun diwarisi secara perorangan ataupun keluarga.
Faktor pendorong munculnya PETI dikalangan masyarakat bawah diawali dengan kemiskinan. Baik itu secara ekonomi, kewajaran hidup, modal, pendidikan, pengetahuan, keterampilan, hingga keterpinggirkan secara sosial. Dalam konteks kemiskinan tersebut, muncul para penadah/cukong dengan berbagai kepentingan. Dua kondisi tersebut kemudian menghasilkan kerjasama yang saling menguntungkan antara kedua belah pihak. Bahkan masyarakat lokal merasa tertolong oleh kehadiran penadah tersebut. Hal itu dalam keterkaitannya menyediakan lapangan kerja, permodalan dan tentunya penghasilan.
Pada awalnya PETI hanya dilakukan oleh masyarakat lokal. Namun kemudian muncul pelaku lain dari masyarakat pendatang. Kalau PETI lama tidak menyadari bahwa perilaku PETI adalah ilegal, maka PETI versi baru tahu bahwa perbuatannya adalah melanggar hukum. Namun karena keterpaksaan kondisi hidup membuat mereka ikut terlibat dalam PETI.
Pokok permasalahan sebenarnya adalah adanya ketidak adilan pemerintah dalam mensejahterakan rakyatnya. Keberadaan BUMN maupun MNCs di sektor pertambangan yang mengeruk kekayaan alam secara besar-besaran menimbulkan kesenjangan dan kecemburuan sosial. Hal ini terjadi karena keuntungan ekonomi yang didapat pelaku tambang tidak terbagi secara adil kepada masyarakat lokal.
Perilaku menyimpang dalam bentuk PETI pada dasarnya tidak terlepas dari andil dan kebijakan pemerintah sebagai pemegang amanat pasal 33 UUD 1945. UU No 11 tahun 1967 kurang memperhatikan pengembangan wilayah dan kesejahteraan masyarakat serta peraturan yang kurang berpihak kepada kepentingan masyarakat lokal. Seperti tidak adanya jaminan pertambangan rakyat dapat beroperasi jika perusahaan besar masuk ke dalam wilayah pertambangan rakyat. Selain itu tidak ada kekhususan peruntukan lahan cadangan bagi masyarakat bermodal kecil yang ingin mengusahakan pertambagnan dan pengaturan usaha pertambangan .

Permasalahan Lingkungan
Ketentuan yang berhubungan dengan lingkungan dalam eksplorasi sumber daya mineral Indonesia sangatlah luas. Penambangan diperlukan untuk menggali sebanyak mungkin sumber daya mineral, tetapi dengan dampak kerusakan lingkungan yang sekecil-kecilnya. Meskipun pertambangan modern menjamin kesehatan pegawai maupun masyarakat lokal, namun pernyataan pengaruh lingkungan juga diperlukan untuk menganalisis pengaruh dampak yang potensial.
Peraturan lingkungan yang berlaku adalah pengaruh proses analis lingkungan yang dinyatakan dalam PP No. 51 Tahun 1993. analisis pengaruh lingkungan dalam PP 51 menyajikan prosedur penilaian yang lengkap tentang penilaian lingkungan. Analisa Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagai hasil dari Deptamben diperlukan dalam pembukaan proyek. Perencanaan harus menyajikan analisis pengaruh terhadap lingkungan. Satu term of reference yang diterima, perusahaan harus menyajikan AMDAL dan rencana pengelolaan dan pengendalian lingkungan.

Internasionalisasi Sumber Daya Alam di Indonesia
Aturan yang mengatur tentang izin pertambangan ternyata terbukti merugikan negara sebagai pemilik hak atas sumber daya mineral yang diatur oleh UUD 1945. Kondisi ini disebabkan oleh tidak adanya aturan yang jelas tentang alokasi sumber energi yang dihasilkan. Pasca perang Irak, saat dunia mengalami krisis energi, begitu juga dengan Indonesia, hasil-hasil pertambangan Indonesia terutama sektor energi sebagian besar dibawa keluar negeri. Sementara di Indonesia mengalami krisis energi, apalagi dengan seringnya kebijakan pengurangan subsidi BBM.
Tabel. 4
Derajat Penghisapan Sumber Daya Ekonomi
No.
Propinsi
1996
Yang Dinikmati masyarakat setempat
2002
Yang dinikmati masyarakat setempat
1
Kaltim
89 %
11 %
90 %
10 %
2
Riau
84 %
16 %
76 %
24 %
3
Papua
82 %
18 %
80 %
20 %
4
NAD
81 %
19 %
-
-
5
DKI Jakarta
78 %
22 %
81 %
19 %
Sumber : Ekonomi terjajah, Mubyarto, PUSTEP UGM – 2005
Data yang ada dalam tabel.1 menunjukan tingkat penghisapan sumber daya ekonomi di beberapa provinsi di Indonesia. Provinsi Kalimantan Timur sebagai salah satu provinsi terkaya dan merupakan provinsi dengan pendapatan perkapita terbesar di Indonesia ternyata menjadi provinsi dengan tingkat penghisapan terbesar. Sekitar 90 persen dari sumber daya ekonomi yang dihasilkan Kaltim dibawa keluar, sehingga hanya sepuluh persen yang dinikmati masyarakat setempat.
Tabel. 5
Tingkat Penghisapan di Kalimantan Timur
No
Kabupaten/Kota
Konsumsi /Kapita/ Bulan
Konsumsi /Kapita/ Bulan
PDRB/kapita/Tahun
PDRB/kapita/Tahun
Tingkat Penghisapan
2003
2003
2003
2003
2003
2004
1
Pasir
223.741
223.741
6922.83
6922.83
0.61
0.60
2
Kutai Barat
228.442
228.442
16987.17
16987.17
0.84
0.82
3
Kutai Karten.
243.642
243.642
59274.49
59274.49
0.95
0.94
4
Kutai Timur
275.852
275.852
32784.44
32784.44
0.90
0.88
5
Berau
292.603
292.603
22665.19
22665.19
0.85
0.82
6
Malinau
329.178
329.178
14326.47
14326.47
0.72
0.64
7
Bulungan
247.233
247.233
17441.82
17441.82
0.83
0.85
8
Nunukan
275.767
275.767
7874.43
7874.43
0.58
0.50
9
Panajam P.U
-
271.456
-
6776.56
-
0.52
10
Balikpapan
337.922
470.267
32625.93
33620.19
0.88
0.83
11
Samarinda
299.615
381.337
17454.44
19792.09
0.79
0.77
12
Tarakan
286.364
335.718
13740.62
16321.82
0.75
0.75
13
Bontang
505.592
554.068
261000
272000
0.98
0.98
14
Kaltim
287.805
359.652
37531.85
42234.66
0,91
0.90
Sumber : Makalah Aji Sofyan, Divestasi Saham KPC 2003 (makalah tidak diterbitkan)

Sedangkan dari tabel.2 terdapat tingkat penghisapan per kabupaten/kota yang ada di provinsi Kalimantan Timur. Kabupaten Kutai Timur tempat lokasi PT KPC beroperasi ternyata masuk kedalam urutan ketiga sebagai kabupaten/kota dengan tingkat penghisapan sumber daya ekonomi tertinggi. Selain itu, data yang dihasilkan oleh penelitian LPEM FE UI pada tahun 2002 menunjukan bahwa kontribusi sektor pertambangan di Kutai Timur sebesar 30 persen terhadap PAD. Penyerapan tenaga kerja dan output perekonomian dari PT KPC sebagai multiplier effect hanya sebesar 11,9 dan 1,9 persen.
Tabel.6
Penerimaan Pemerintah dari KPC
Sumber/Tahun
2003
(Juta US$)
2004
(Juta US$)
2005
(Juta US$)
2006
(Juta US$)
2007
(Juta US$)
Pajak-Pajak
51,1
120,2
125,6
165,6
238,7
Sewa Tetap/
Lumpsum
0,2
0,2
0,3
0,3
0,3
Royalti Batu Bara
54,7
90,4
147,0
197,0
210,6
Total
106,0
210,8
272,9
262,9
449,6
Sumber : Makalah Aji Sofyan, Divestasi Saham KPC 2003 (makalah tidak diterbitkan)

Dari tabel diatas penerimaan Pemerintah Bandingkan dengan penerimaan yang didapat oleh Pemerintah Pusat. Sejak tahun 2003 hingga 2007 terdapat peningkatan pemasukan ke kas Pemerintah Pusat sebesar 4 kali lipat. Bahkan untuk jumlah yang diterima oleh Pemerintah Pusat pada tahun 2007 tidak jauh berbeda dari total biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli KPC pada tahun 2003 apabila divestasi KPC berhasil dilaksanakan.
[1] Sajuti Thalib, Hukum Pertambangan Indonesia, (Bandung, Akademi Geologe dan Pertambangan, 1971). Hal 17.
[2] Drs. H. Awang Faroek Ishak, MM., MSi., Memperjuangkan Hak Rakyat Kalimantan Timur, (Jakarta; Forum Indonesia Tumbuh, 2003), hlm
[3] Ibid, hlm
[4] Ibid, hlm
[5] Sajuti Thalib, Op.cit, hal 17.
[6] Pada saat itu masih berlaku Ordonantie 1910 dan 1918.
[7] Ibid. hal 18
[8] Ibid. hal 18
[9] Ibid.
[10]Ibid, hal 19
[11] Ibid
[12] Ibid, hal 21.
[13] http://www.minergynews.com/opinion/sony.shtml, diakses pada Senin 26 Maret 2007 pukul 12:05

[14] Ibid
[15] Ibid
[16] Ibid
[17] Ibid
[18] Ibid
[19] Adam Przeworski, States and Markets, A Primer in Political Economy, (New York, Cambridge University Press, 2003), hal 99
[20] Sonny, Op.cit
[21] Achmad Prijono, The Decade of the Eighties: The Start of Large Scale Coal Development in Indonesia.
dalam Mineral Development in Asia and Pacific, Proceeding of the 2nd Asia Pacific Mining Conference,
editor M. Simatupang dan James F. McDivitt, hal 519. Manila: Asean Mining Federation.
[22] Pendekatan sistem pasar mengacu pada pendekatan ekonomi neoklasik yang pada periode 70 hingga 80-an dimotori oleh tiga Negara penting di dunia, Amerika Serikat (Ronald Reagan), Inggris (Margaret Thatcer) dan Jerman Barat (Helmut Kohl). Bank Dunia dan IMF juga mendukung pendekatan neoklasik, yang kemudian membujuk Indonesia untuk menggunakan kebijakan neoklasik pada periode 80an.
[23] Ibid
[24] Suharna Surapranata, Peningkatan Eksplorasi Sumber Daya Mineral yang Berorientasi Kepada Kepentingan Nasional Serta Pembangunan Daerah Otonom dalam Rangka Mewujudkan Stabilitas Nasional, TASKPA Kursus Singkat Angkatan X Lemhannas R.I., 2002
[25] Surat Ampalit Mas Perdana ke DPR, 2 Oktober 1995
[26] Zat mercury digunakan untuk memisahkan emas dari mineral lainnya.
[27] “Goldminer to quit Indonesian Project” [The Australian Newspaper, 16 April 2001]
[28] Suharna, Op.cit
[29] Ibid
[30] Ibid
[31] Ibid
[32] Ibid

No comments: